Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Tak Seharusnya Cinta

25 Desember 2016   21:42 Diperbarui: 28 Desember 2016   10:18 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku menemukan salinan rumah masa kecilku dulu--bercat biru. Ya, cat rumah kita yang dulu adalah biru—itu warna kesukaanmu dan Ibu. Dan semenjak aku merengek untuk mempunyai rumah seperti istana boneka, Ibu memohon padamu untuk mengganti cat rumah kita menjadi merah muda. Aku ingat rumah kita dulu memiliki balkon sederhana yang menjadi tempat kau dan Ibu menikmati sore bersama. Dan semenjak aku mulai gila cinderella, kuubah balkon sederhana itu menjadi istana tuan putri dan raja.

Aku terus tertegun, menemukan satu per satu kesamaan rumahmu kini dengan rumah kita yang dulu. Sampai aku tak sadar kalau kakiku hampir mengetuk pintu kayumu. Tapi sebelum tanganku sampai untuk mengetuk, kau sudah mendahului untuk membukakannya... bersama wanita peniru Ibu.

“Almira?”

Aku terdiam. Mataku terpaku pada sosok wanita salinan ibuku. Ia benar-benar mempunyai tinggi yang sama. Bobot badan yang sama. Bahkan model rambut yang sama. Aku ingat betul bagaimana rupa Ibu saat masih muda. Dan orang di hadapanku ini benar-benar peniru yang handal.

Bagaimana ia bisa menemukan daster itu? Itu daster favorit Ibu. Bagaimana ia bisa menemukan jepit rambut dengan model yang sama seperti Ibu? Bagaimana ia bisa tercium seperti wanginya Ibu? Bagaimana ia bisa tersenyum seperti senyumnya Ibu? Bagaimana?

Hatiku terus berteriak. Otakku terus meracau gila. Sedangkan sosok lelaki di hadapanku mulai terlihat bimbang.

“Bagaimana?” ia bertanya.

Tapi aku tak menghiraukan. Pikiranku masih berkecamuk di dalam. Kegalauanku selama lima tahun kini terjawab sudah. Aku tak menyangka. Inikah alasan ia pergi dari rumah? Supaya bisa membangun rumah lain—rumah pertamanya dengan Ibu? Inikah alasan ia meninggalkanku? Supaya bisa menikah dengan orang lain dan mendandaninya seperti Ibu?  

Dan aku…

Hanyalah boneka bodoh yang tak pernah menjadi bagian hidup dari lelaki tegap itu.

Namun, tiba-tiba aku teringat. Kurogoh tas tangan ungu yang masih kuamit di lengan kanan. Kukeluarkan satu-satunya benda yang mengendap selama lima tahun di dalamnya. Sebuah sketsa yang kujadikan kado ulang tahunnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun