Ia menerima dengan wajah tanya.
Kuusahakan tersenyum lumrah.
“Selamat... ulang... tahun...,” ucapku gemetar. Ia memandangku dengan sorot mata itu. Sorot mata yang demi Tuhan, sangat kurindu.
“Tapi sekarang bukan ulang tahunku, Al.”
Aku mengiyakan. Sulit sekali rasanya untuk menelan ludah. “Itu kado lima tahun yang lalu.”
Ia mendekat, hendak meraih tanganku. Hatiku berteriak—jangan! Jangan kau sentuh lagi tangan orang yang tak pernah kau harapkan kehadirannya. Tapi kehangatan itu terus menjalar, dan butuh waktu beberapa saat bahwa ia mengecup keningku dan membisikkan terima kasih di telingaku.
Pelupuk mataku panas. Tuhan, aku tak mau menangis. Tetapi air mataku sudah menggantung di ujung mata. Lelaki tegap itu bahkan mengusapnya untukku.
“Jangan cengeng!” katanya. “Ibumu nggak akan menangis di hadapan orang.”
Ya, lagi-lagi Ibu. Aku memang tak pernah mengalahkan Ibu. Selamanya, hanya Ibu yang ada di hidupnya. Selamanya, hanya Ibu yang selalu diingatnya.
Aku hendak pergi. Tapi lelaki itu malah menahanku.
Ia membuka gulungan sketsaku. Dari dulu aku hobi menggambar. Ibu menurunkan bakat istimewanya padaku. Dan di sketsa itu, aku sengaja hanya menggambar sosok tegapnya bersama Ibu. Kuharap tadinya dengan menerima kado itu, ia akan kembali lagi ke rumah. Namun aku terlambat, lelaki tegap itu sudah terlanjur pergi sebelum kado ini sampai padanya.