“Akadnya dua minggu lagi. Segalanya sudah dipesan. Sudah rapi. Kuharap kau mau mengikhlaskannya, nak?” Sekarang Abah menepuk pundakku.
Tapi yang ada di pikiranku cuma satu. Hasna tak mungkin mengkhianatiku. Maka kupanggil dia dengan panggilan sayang yang biasa, “Na…”
Namun panggilanku hanya dibalas desau angin yang semakin sendu. Hasna tak menjawab. Dan itu hanya berarti akhir. Akhir dari semua penantian dan kerja kerasku selama ini.
Aku menyerah.
***
Petak-petak flamboyan di taman itu masih mengedip ramah padaku. Mulai dari yang orange, putih, hingga merah kelabu. Aku jadi sering mengunjunginya belakangan ini. Terutama sejak peristiwa dua hari lalu. Kau tahu bagaimana tepatnya, aku enggan menyebutnya.
Dulu aku pernah mengatakan bahwa flamboyan dan dia mempunyai satu persamaan. Ya, mereka sama-sama memukauku. Aku tak menyanggah itu. Tapi kini aku menemukan satu perbedaan antara dia dan flamboyan, yaitu jika dia bisa mengkhianatiku, flamboyan tak mungkin bisa begitu. Flamboyan tak mungkin mengkhianatiku.
Kebiasaanku masih sama, sebelum kembali ke rumah, aku akan memetik salah satu flamboyan yang sedang mekar itu. Namun kini aku tak menyelipkan bunga itu ke telinganya. Melainkan kubebaskan ia untuk terbang—supaya ia bisa memilih sendiri telinga yang kan jadi tempat tinggal.
***
5September2016