Dua jam, seperempat. Keputusanku sudah bulat. Aku akan menjemput Hasna langsung di rumah. Tak peduli si Abah yang yang mungkin menolak atau mendamprat. Pokoknya keputusanku sudah bulat.
“Assalamualaikum…”
Satu detik, dua detik, tak ada jawaban. Di detik ke lima barulah pintu gerbang akhirnya terbuka.
Jantungku mendadak bertalu-talu. Kini si Abah berdiri di depan pintu—memandangku dengan tatapan tajam menusuk.
“Maaf Bah, Hasnanya ada?”
Si Abah sedikit mengangguk. Matanya sekarang menelanjangi rupaku dari rambut sampai ke ujung sepatu. Ia berkedut. “Kamu ini anaknya siapa?”
“Anak bu Hayati, Bah. Rumah kami dekat bantaran kali,” balasku masih mengigiti bibir.
“Untuk apa kamu cari Hasna?”
Batinku bergejolak. Lama kemudian aku baru bisa berkata, “saya ingin mengajak Hasna keluar sebentar, Bah. Hanya berkeliling sebentar.”
Kurasa mata Abah sekarang menekuri kemejaku yang bewarna abu-abu lusuh dan sepatu bututku yang . Dahinya kemudian mengerut. “Hasna sedang sibuk. Ia harus banyak belajar untuk menyelesaikan skripsi S1nya.” Lalu Abah menatap mataku, “bagaimana denganmu? Sedang kuliah juga?”
Aku menggeleng. “Tidak, Bah. Saya bekerja di pasar. Apa saja yang penting bisa menghasilkan uang.”