Kuperhatikan tampaknya kerutan di dahi Abah semakin mendalam. Tiba-tiba aku takut menerka.
“Serabutan maksudmu?”
Aku tak tahu kemana arah percakapan ini. Aku hanya mengikut—lalu mengangguk.
Abah lalu mendelik. “Kamu tahu Hasna sebentar lagi menjadi sarjana dan sudah mendapat beasiswa untuk lanjut S2nya?”
“Saya hanya tahu Hasna sedang kuliah S1, Bah. Ia belum cerita tentang beasiswa S2nya.” Aku menjawab sedikit kaku. Udara sepertinya kini mulai membeku.
“Nah setelah kau tahu, apa yang akan kaulakukan?” Abah bertanya.
Aku terlalu bingung untuk menjawab. Lantas aku termenung sesaat. “Maksud Abah?”
Abah tiba-tiba mengangkat bahu. Matanya lalu terpancang pada sekumpulan kumbang yang sibuk menghisapi madu. “Ya.. kalau Abah jadi kamu. Abah akan meninggalkan Hasna. Membiarkan dia menyelesaikan S2nya dan membiarkan dia mendapat laki-laki yang lebih sempurna.”
Aku tergugu. Abah masih menatap kumbang hitam itu. Mendadak aku mengerti apa maksud pertanyaannya sejak bertemu.
Tampaknya Abah menganggapku sudah menyerah, karena dia menepuk pundakku pelan lalu berkata, “lebih baik kaupulang, Nak. Kurasa pekerjaanmu telah menunggu di pasar.”
Selama sedetik aku menelan saja kata-kata Abah dan bersedia pulang, namun detik berikutnya batinku mulai bergejolak. “Saya rasa Hasna tak memerlukan pria yang sempurna. Ia hanya mengiginkan pria yang baik dan tulus mencintainya.”