“Oh ya?” Abah mengernyit lagi. “Nak, sepertinya kau harus mengerti. Bahwa baik dan cinta saja tak cukup untuk membangun biduk rumah tangga. Kau harus mempunyai pekerjaan tetap. Tabungan yang banyak. Dan rumah kecil yang sudah dibayar lunas.” Abah lagi-lagi menepuk pundakku. “Nah sudahkah kaupunya semua itu?”
“Aku sedang berusaha, Bah.”
“Nah sementara kau berusaha, biarkanlah Hasna tenang dalam belajarnya. Sayang, dosennya tak menginginkan dia punya waktu banyak. Skripsinya harus segera diselesaikan.”
Dan kala itu, mulutku tak sanggup lagi berkata. Abah seperti sudah menebas habis anganku hingga ke akar-akarnya. Aku lalu memutuskan pulang dan tak lagi menemui Hasna di hari-hari berikutnya.
***
Namun aku benar-benar berusaha keras untuk menuruti permintaan si Abah. Satu persatu sudah hampir tercapai, ya aku sudah mulai bekerja menjadi karyawan tetap di salah satu perusahaan swasta. Aku juga sudah menabung dan mulai mencicil rumah kecil untuk tempat beristirahat. Kurasa sekarang aku siap menemui Abah.
Dan ketika sesampaiku di rumah Hasna, kulihat xenia hitam terparkir di depannya. Apa ia sedang menerima tamu? Apakah aku harus berbalik dan menemui Abah di lain waktu? Tapi tepat saat itu juga pintu gerbang mendadak terbuka. Dan Abah berada di sana tersenyum menyapa.
“Eh, sudah lama nak Ilham?” Kurasa nada suara Abah mulai terdengar berbeda sejak ia tahu aku diterima di perusahaan swasta.
“Baru saja, Bah.”
Abah tersenyum, kemudian menepuk bahu Laki-laki yang baru kusadari berada di sebelahnya. “Nah, nak Ilham kenalin, ini Rio—calon suami Hasna.”
Mataku langsung terbelalak ngeri. Abah pastilah bercanda.