Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Sedang belajar mengompos, yuk bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jawaban Sebuah Penantian

5 September 2016   17:11 Diperbarui: 1 April 2017   08:57 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Oh ya?” Abah mengernyit lagi. “Nak, sepertinya kau harus mengerti. Bahwa baik dan cinta saja tak cukup untuk membangun biduk rumah tangga. Kau harus mempunyai pekerjaan tetap. Tabungan yang banyak. Dan rumah kecil yang sudah dibayar lunas.” Abah lagi-lagi menepuk pundakku. “Nah sudahkah kaupunya semua itu?”

“Aku sedang berusaha, Bah.”

“Nah sementara kau berusaha, biarkanlah Hasna tenang dalam belajarnya. Sayang, dosennya tak menginginkan dia punya waktu banyak. Skripsinya harus segera diselesaikan.”

Dan kala itu, mulutku tak sanggup lagi berkata. Abah seperti sudah menebas habis anganku hingga ke akar-akarnya. Aku lalu memutuskan pulang dan tak lagi menemui Hasna di hari-hari berikutnya.

***

Namun aku benar-benar berusaha keras untuk menuruti permintaan si Abah. Satu persatu sudah hampir tercapai, ya aku sudah mulai bekerja menjadi karyawan tetap di salah satu perusahaan swasta. Aku juga sudah menabung dan mulai mencicil rumah kecil untuk tempat beristirahat. Kurasa sekarang aku siap menemui Abah.

Dan ketika sesampaiku di rumah Hasna, kulihat xenia hitam terparkir di depannya. Apa ia sedang menerima tamu? Apakah aku harus berbalik dan menemui Abah di lain waktu? Tapi tepat saat itu juga pintu gerbang mendadak terbuka. Dan Abah berada di sana tersenyum menyapa.

“Eh, sudah lama nak Ilham?” Kurasa nada suara Abah mulai terdengar berbeda sejak ia tahu aku diterima di perusahaan swasta.

“Baru saja, Bah.”

Abah tersenyum, kemudian menepuk bahu Laki-laki yang baru kusadari berada di sebelahnya. “Nah, nak Ilham kenalin, ini Rio—calon suami Hasna.”

Mataku langsung terbelalak ngeri. Abah pastilah bercanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun