“Tahukah kau Na, apa persamaanmu dengan bunga flamboyan?” tanyaku sambil ikut memandang flamboyan yang kini berkelip sendu mengikuti arah angin yang sedang bertiup.
Dia menggeleng. Matanya terpaku pada flamboyan merah yang baru kuncup malu-malu.
“Kamu dan flamboyan sama-sama memukauku.”
Kali ini dia benar-benar memandangku. Matanya mengedip penuh bujuk rayu. Dan wajahnya mendadak berubah merah semu. “Ah, gombal…”
Dia lalu memamerkan senyum lugu. Senyum yang ia tahu akan meluluhkan semua pertahananku. Aku lalu mengacak rambutnya. “Kau tahu, aku payah sekali dalam menggombal, Na. Aku hanya bisa mengatakan fakta.”
Aku kemudian bangkit berdiri. Lalu kupetik flamboyan putih yang baru kuncup tadi—kuselipkan ke telinga Hasna. Kemudian mengamit tangannya. “Besok di tempat dan jam yang sama?”
Hasna mengangguk. Lalu kami berlalu meninggalkan taman yang mengedip ramah menyambut senja.
***
Keesokan harinya aku menunggu Hasna di tempat biasa—di depan gang yang menuju ke rumah tingkat berkanopi birunya. Dari dulu Hasna tak memperbolehkanku untuk menjemput langsung ke rumahnya. Ia takut aku akan bertemusi Abah yang katanya terlalu konservatif terhadap anaknya. Aku hanya mengiyakan, walaupun batinku tak henti bergejolak.
Tapi sudah satu jam Hasna tak kunjung datang. Ia tak pernah terlambat seperti ini sebelumnya. Apa dia lupa? Atau mendadak tidak bisa? Aku mulai bergulat dengan batinku. Apa aku harus mengunjungi rumahnya dan bertemu si Abah atau aku menunggu di sini saja sambil berharap ia ingat?
Satu jam, setengah. Hatiku mulai gundah. Mataku juga memerah karena sedari tadi menahan kedip kalau-kalau Hasna keluar rumah. Tapi sampai saat ini tak juga kutemu derap langkahnya.
Dua jam, seperempat. Keputusanku sudah bulat. Aku akan menjemput Hasna langsung di rumah. Tak peduli si Abah yang yang mungkin menolak atau mendamprat. Pokoknya keputusanku sudah bulat.
“Assalamualaikum…”
Satu detik, dua detik, tak ada jawaban. Di detik ke lima barulah pintu gerbang akhirnya terbuka.
Jantungku mendadak bertalu-talu. Kini si Abah berdiri di depan pintu—memandangku dengan tatapan tajam menusuk.
“Maaf Bah, Hasnanya ada?”
Si Abah sedikit mengangguk. Matanya sekarang menelanjangi rupaku dari rambut sampai ke ujung sepatu. Ia berkedut. “Kamu ini anaknya siapa?”
“Anak bu Hayati, Bah. Rumah kami dekat bantaran kali,” balasku masih mengigiti bibir.
“Untuk apa kamu cari Hasna?”
Batinku bergejolak. Lama kemudian aku baru bisa berkata, “saya ingin mengajak Hasna keluar sebentar, Bah. Hanya berkeliling sebentar.”
Kurasa mata Abah sekarang menekuri kemejaku yang bewarna abu-abu lusuh dan sepatu bututku yang . Dahinya kemudian mengerut. “Hasna sedang sibuk. Ia harus banyak belajar untuk menyelesaikan skripsi S1nya.” Lalu Abah menatap mataku, “bagaimana denganmu? Sedang kuliah juga?”
Aku menggeleng. “Tidak, Bah. Saya bekerja di pasar. Apa saja yang penting bisa menghasilkan uang.”
Kuperhatikan tampaknya kerutan di dahi Abah semakin mendalam. Tiba-tiba aku takut menerka.
“Serabutan maksudmu?”
Aku tak tahu kemana arah percakapan ini. Aku hanya mengikut—lalu mengangguk.
Abah lalu mendelik. “Kamu tahu Hasna sebentar lagi menjadi sarjana dan sudah mendapat beasiswa untuk lanjut S2nya?”
“Saya hanya tahu Hasna sedang kuliah S1, Bah. Ia belum cerita tentang beasiswa S2nya.” Aku menjawab sedikit kaku. Udara sepertinya kini mulai membeku.
“Nah setelah kau tahu, apa yang akan kaulakukan?” Abah bertanya.
Aku terlalu bingung untuk menjawab. Lantas aku termenung sesaat. “Maksud Abah?”
Abah tiba-tiba mengangkat bahu. Matanya lalu terpancang pada sekumpulan kumbang yang sibuk menghisapi madu. “Ya.. kalau Abah jadi kamu. Abah akan meninggalkan Hasna. Membiarkan dia menyelesaikan S2nya dan membiarkan dia mendapat laki-laki yang lebih sempurna.”
Aku tergugu. Abah masih menatap kumbang hitam itu. Mendadak aku mengerti apa maksud pertanyaannya sejak bertemu.
Tampaknya Abah menganggapku sudah menyerah, karena dia menepuk pundakku pelan lalu berkata, “lebih baik kaupulang, Nak. Kurasa pekerjaanmu telah menunggu di pasar.”
Selama sedetik aku menelan saja kata-kata Abah dan bersedia pulang, namun detik berikutnya batinku mulai bergejolak. “Saya rasa Hasna tak memerlukan pria yang sempurna. Ia hanya mengiginkan pria yang baik dan tulus mencintainya.”
“Oh ya?” Abah mengernyit lagi. “Nak, sepertinya kau harus mengerti. Bahwa baik dan cinta saja tak cukup untuk membangun biduk rumah tangga. Kau harus mempunyai pekerjaan tetap. Tabungan yang banyak. Dan rumah kecil yang sudah dibayar lunas.” Abah lagi-lagi menepuk pundakku. “Nah sudahkah kaupunya semua itu?”
“Aku sedang berusaha, Bah.”
“Nah sementara kau berusaha, biarkanlah Hasna tenang dalam belajarnya. Sayang, dosennya tak menginginkan dia punya waktu banyak. Skripsinya harus segera diselesaikan.”
Dan kala itu, mulutku tak sanggup lagi berkata. Abah seperti sudah menebas habis anganku hingga ke akar-akarnya. Aku lalu memutuskan pulang dan tak lagi menemui Hasna di hari-hari berikutnya.
***
Namun aku benar-benar berusaha keras untuk menuruti permintaan si Abah. Satu persatu sudah hampir tercapai, ya aku sudah mulai bekerja menjadi karyawan tetap di salah satu perusahaan swasta. Aku juga sudah menabung dan mulai mencicil rumah kecil untuk tempat beristirahat. Kurasa sekarang aku siap menemui Abah.
Dan ketika sesampaiku di rumah Hasna, kulihat xenia hitam terparkir di depannya. Apa ia sedang menerima tamu? Apakah aku harus berbalik dan menemui Abah di lain waktu? Tapi tepat saat itu juga pintu gerbang mendadak terbuka. Dan Abah berada di sana tersenyum menyapa.
“Eh, sudah lama nak Ilham?” Kurasa nada suara Abah mulai terdengar berbeda sejak ia tahu aku diterima di perusahaan swasta.
“Baru saja, Bah.”
Abah tersenyum, kemudian menepuk bahu Laki-laki yang baru kusadari berada di sebelahnya. “Nah, nak Ilham kenalin, ini Rio—calon suami Hasna.”
Mataku langsung terbelalak ngeri. Abah pastilah bercanda.
“Nak Rio, ini Ilham—teman Hasna.”
Rio tersenyum. Lalu mengulurkan sebelah tangan.Tapi kuabaikan.
Karena aku mulai naik darah. “Apa maksud Abah dia calon suami Hasna?”
Abah menatapku seperti dulu, “Hasna itu wanita bebas. Dia boleh menentukan siapa saja yang akan jadi pendamping hidupnya.”
“Tapi, Bah. Aku sudah…”
Perkataanku tercekat karena saat itu Hasnapun ikut keluar.
“Na, dia bukan calon suami kamu kan? Aku calon suami kamu, Na. Aku bahkan sudah menyicil rumah kecil kita yang penuh petak-petak flamboyan—supaya kamu tak perlu lagi pergi ke taman untuk melihatnya.”
Hasna diam saja. Aku tahu ini merupakan kesempatan emas Abah untuk berbicara, karena kemudian dia maju selangkah dan menatapku lekat-lekat. “Kau sudah keduluan, nak Ilham. Hasna sudah menerima lamaran Rio.”
“Tapi saya yang memintanya dulu, Bah. Bahkan dari dua tahun yang lalu.”
Abah menggeleng. “Oh tidak, nak. Perjodohan ini sudah di usung jauh lebih lama sebelum kau meminta. Mungkin jauh lebih lama sebelum kau mengenal Hasna. Ini..” Abah terdengar ragu sesaat kemudian berkata, “ada hubungan dengan bisnis keluarga. Kautahu kan, nak. Bisnis harus tetap berjalan.”
Aku rasanya sudah ingin berteriak saja. Tapi Hasna tetap terpekur di tempatnya, menunduk—entah sedang mengamati apa. Sedangkan Rio berusaha menyembunyikan wajah. Dan Abah mulai bergerak gelisah.
“Akadnya dua minggu lagi. Segalanya sudah dipesan. Sudah rapi. Kuharap kau mau mengikhlaskannya, nak?” Sekarang Abah menepuk pundakku.
Tapi yang ada di pikiranku cuma satu. Hasna tak mungkin mengkhianatiku. Maka kupanggil dia dengan panggilan sayang yang biasa, “Na…”
Namun panggilanku hanya dibalas desau angin yang semakin sendu. Hasna tak menjawab. Dan itu hanya berarti akhir. Akhir dari semua penantian dan kerja kerasku selama ini.
Aku menyerah.
***
Petak-petak flamboyan di taman itu masih mengedip ramah padaku. Mulai dari yang orange, putih, hingga merah kelabu. Aku jadi sering mengunjunginya belakangan ini. Terutama sejak peristiwa dua hari lalu. Kau tahu bagaimana tepatnya, aku enggan menyebutnya.
Dulu aku pernah mengatakan bahwa flamboyan dan dia mempunyai satu persamaan. Ya, mereka sama-sama memukauku. Aku tak menyanggah itu. Tapi kini aku menemukan satu perbedaan antara dia dan flamboyan, yaitu jika dia bisa mengkhianatiku, flamboyan tak mungkin bisa begitu. Flamboyan tak mungkin mengkhianatiku.
Kebiasaanku masih sama, sebelum kembali ke rumah, aku akan memetik salah satu flamboyan yang sedang mekar itu. Namun kini aku tak menyelipkan bunga itu ke telinganya. Melainkan kubebaskan ia untuk terbang—supaya ia bisa memilih sendiri telinga yang kan jadi tempat tinggal.
***
5September2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H