Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, jadi Game Changer untuk lingkunganmu!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selembar Uang Merah untuk Thalia

22 Agustus 2016   12:49 Diperbarui: 22 Agustus 2016   13:00 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: penjual tisu. Sumber gambar: Foto.tempo.co

Suasana ibukota kala itu sedang ramai-ramainya. Para pekerja berhamburan keluar mencari jalan tercepat menuju tempat beristirahat—rumah. Para pedagang yang tadinya mengantuk, menunggu pelanggan, tiba-tiba terkesiap berlarian—menawarkan barang dagangan.

“Bu, minumannya bu.”

“Koran sorenya pak, tiga ribuan.”

“Teh.. teh.. teh poci.”

Semunya nyaris mendapatkan pelanggan yang lumayan. Kecuali gadis kecil berkepang dua yang sedang menjajakan tisunya di sudut jalan.

“Bu, tisunya bu..” tawar gadis itu.

Sang ibu tak menoleh sedikitpun dan terus saja berjalan seakan ia hanya melewatkan dinding tembok kokoh yang tak berguna. Gadis kecil itu kembali menawarkan tisunya, kali ini kepada seorang bapak-bapak yang terlihat sedang menunggu bus jemputan. Bapak itu hanya tersenyum kecil, sebagai isyarat untuk memberitahunya bahwa ia tak butuh tisu.

Akhirnya gadis kecil itu menyerah. Ia beranjak duduk di pinggir trotoar sambil mengusap keningnya yang penuh dengan keringat. Gadis itu ternyata memakai sebuah kalung perak bertuliskan Thalia. Ah, pasti itu namanya.

Thalia menoleh ke kanan dan kiri untuk membidik target mana yang kira-kira akan membeli tisunya. Tapi belum sempat ia berdiri, dua orang laki-laki berbadan kekar menghadang di depannya.

“Setoran!” raung laki-laki yang paling dekat dengan Thalia. Tangan kanannya terjulur seraya memperlihatkan tato barunya yang bermotif naga.

Thalia yang sudah bersusah payah berdiri, sekarang mundur teratur, “tisuku belum ada yang laku, pak!”

Laki-laki yang berada agak ke belakang membuang ludah dengan suara duh keras. “Lu kira kita bisa diboongin sama anak ingusan yang bau kencur kaya elu, hah?”

Thalia menggeleng—masih berusaha membuat jarak sejauh mungkin dengan kedua lelaki kekar tersebut. “Saya tak bohong, pak! Lihat saja.”

Thalia memperlihatkan dagangan tisunya yang masih utuh. Tapi kedua lelaki itu malah menyeringai lebar sambil memandang Thalia dengan kilat membahayakan.

“Halah kita gak mau tau! Dan kita nggak peduli dagangan lu laku apa kagak. Pokoknya kalo nanti malem lu nggak ngasih setoran, abis lu disini!” raung salah satu lelaki tersebut dan menendang dagangan tisu Thalia sehingga bertebaran kemana-mana.

Thalia tak bergeming hingga kedua laki-laki itu menghilang di sudut gang. Setelah kira-kira dua menit berlalu, ia baru merapihkan tisunya sambil menggigit bibir—menahan tangis.

Dan Thalia benar-benar menangis setelahnya. Ia meringkuk di depan warung makan selama satu jam, sampai sang empunya warung menghampirinya dengan satu bungkusan nasi yang baunya menusuk-nusuk hidung Thalia dengan tajam.

“Saya nggak pesan ini, bu.” Thalia berkata lemah.

“Ini buat kamu gratis, dek. Nah sekarang jangan nangis lagi ya,” balas si Ibu warung dengan ramah.

Thalia lalu mengeluarkan sisa uangnya yang kemarin—selembar dua ribuan—disodorkannya uang itu kepada si ibu warung. “Ini bu. Saya cuma punya uang segini.”

Sang ibu menggeleng mantap, “uangnya kamu simpan saja ya, dek.”

Dengan halus uang itu di serahkan kembali ke tangan Thalia yang membuat gadis kecil itu hampir menangis lagi—saking terharunya. “Terima kasih banyak ya, bu.”

Akhirnya Thalia menerima bungkusan nasi itu dengan tangan gemetar. Ia langsung merobeknya karena perutnya sudah tak tahan lagi menahan lapar—akibat menangis. Setelah makanannya habis, Thalia kembali menjajakan tisunya—kali ini dengan suntikan semangat baru karena ia sudah kenyang. Langkah kakinya menjadi lebih mantap. Dan suaranya pun terdengar lebih lantang.

“Bu, tisunya dua ribuan.”

“Mba, tisunya mba.”

“Pa, tisunya.”

Terhitung setidaknya sudah lima kali ia mengitari jalanan ramai itu. Tapi tak seorang pun yang menyentuh tisunya. Hingga Thalia kembali terduduk lesu di sudut jalan.

Malam sebentar lagi datang. Ia terus menerus memikirkan bagaimana kalau prema-preman itu kembali menghadangnya dan meminta tagihan. Sedangkan ia hanya punya selembar dua ribuan—sisa hasil jualannya kemarin.

Sibuk memikirkan apa yang harus dilakukannya nanti membuat otak Thalia semakin macet dan tenggorokannya terasa kering. Ia sampai lupa bahwa ia belum meminum apapun setelah makan tadi.

Akhirnya Thalia memutuskan untuk mendatangi warung klontong dan mengeluarkan sisa uangnya untuk membeli aqua gelas.

Si ibu warung menyerahkan aqua gelas beserta kembaliannya dengan ramah ke tangan Thalia.

“Ini Thal,” ujar si ibu yang ternyata sudah kenal dengan Thalia.

Thalia tersenyum. Tapi belum sempat ia meneguk minumannya, perhatiannya teralihkan kepada seorang anak laki-laki yang berumur lebih muda dengannya sedang menangis di tepi jalan.

Thalia memutuskan menghampiri anak laki-laki tersebut untuk menenangkannya. “Dek kamu kenapa?”

Anak laki-laki itu tetap saja menangis dan tak menggubris kehadiran Thalia.

“Ibumu kemana? Kamu kesini sama siapa?” tanya Thalia lagi.

Kali ini tangis anak laki-laki itu mereda. “Ibu mana… ibu…,” raungnya lalu kembali menangis kencang.

Thalia kemudian mengerti, ia menolehkan kepalanya, menyipitkan mata untuk mencari sosok seorang ibu yang mungkin sedang mencari anaknya.

“Kamu sebaiknya tunggu di warung itu dulu,” Thalia menunjuk warung tempatnya tadi membeli minuman, sambil menarik tangan anak laki-laki itu yang ternyata lebih kecil dari genggamannya.

“Aku bakal cariin ibu kamu. Tapi kamu jangan kemana-mana ya. Tunggu di warung itu,” sahut Thalia. Kemudian anak laki-laki itu mengangguk patuh.

“Aku haus kak,” rengek anak laki-laki itu sebelum Thalia pergi.

Thalia tiba-tiba menyadari bahwa sebelah tangannya masih memegang aqua gelas yang belum sempat dicecapnya. Akhirnya dengan berat hati ia memberi aqua gelas itu kepada anak laki-laki tadi.

“Tapi ini kan punya kakak,” tolak anak laki-laki itu sementara matanya berkilat haus kea rah aqua gelas di tangan Thalia.

“Oh, kakak udah nggak haus,” balas Thalia seraya menaruh aqua gelas itu di tangan si anak laki-laki.

Thalia lalu kembali mengitari jalan itu—mencari-cari seorang ibu yang terlihat kehilangan anaknya. Ia sudah melupakan dagangan tisunya yang belum laku atau tentang kemungkinan apa yang akan terjadi ketika preman-preman kembali mendatanginya.

Thalia akhirnya melihat. Seorang ibu yang terduduk lesu di pinggir trotoar. Thalia sudah memperhatikan ibu itu sebelumnya yang terus menerus menanyai ‘apakah ia melihat anak laki-lakinya’ kepada setiap orang yang ditemuinya.

Thalia ragu-ragu mendekati sang ibu. Namun kali ini wanita itu tak menanyainya. Ia hanya terduduk lesu, mungkin sudah lelah bertanya.

“Ibu.. ibu kehilangan anak ibu?” tanya Thalia pelan.

Sang ibu mengangguk lemah. “Anak laki-laki. Tingginya mungkin baru satu meter. Namanya Dafa,” sahut sang ibu tanpa memandang Thalia.

“Apa dia pakai baju putih dan topi abu-abu?” tanya Thalia lagi.

Mata sang ibu tiba-tiba berbinar. “Ya.. Iya.. Dia pakai baju putih dan topi abu-abu. Kamu lihat dimana dia?” Ibu itu hampir berteriak—saking antusiasnya.

“Lihat bu. Dia nunggu ibu di warung sebelah sana. Mari bu.”

Sang ibu terlihat tak percaya. Ia menatap Thalia sebentar untuk meyakinkan diri. Lalu mengangguk dan mengikuti langkah Thalia.

“Saya melihatnya menangis di dekat taman itu bu. Lalu saya minta dia menunggu di warung. Dia kehausan.” Thalia melanjutkan tanpa diperintah.

“Makasih ya dek, kamu baik sekali.” Sang ibu tampak telah memercayai Thalia sepenuhnya.

Setelah sampai di warung tersebut, anak laki-laki tadi langsung menghambur ke arah ibunya. Menangis lagi.

“Shh. Shh. Dafa, udah jangan nangis. Terima kasih dong sama kakak ini, udah mau jagain kamu,” ujar sang ibu sambil menenangkan anaknya di pelukan.

“Maafin ibu ya, Dafa…”

Tanpa sadar, Thalia mengamati mereka dengan seksama. Tiba-tiba ia teringat ibunya yang sekarang entah berada dimana. Ya, ibunya telah meninggalkannya sejak kecil. Masalah ekonomi—kata orang-orang. Dan hingga kini ibunya tak pernah mengunjungi Thalia sama sekali.

Sang ibu itu tiba-tiba mendatangi Thalia, “Kamu jualan tisu ya dek?”

Thalia mengangguk.

“Ibu beli satu ya,” balas ibu itu lalu membenamkan tangannya ke tas tangan—mencari uang.

Thalia memplastikan salah satu tisunya dan menyodorkan kea rah ibu itu. “Ini bu.”

Ibu itu mengambil tisunya seraya memberi Thalia selembar uang bewarna merah.

“Saya nggak punya kembaliannya, bu,” Thalia bergeming menatap uang itu dengan takut-takut.

“Tidak usah. Ini buat kamu saja.” Ibu itu membalas ramah.

Thalia menggeleng kuat. “Saya cari tukerannya di warung dulu ya, bu.”

Ibu itu malah menahan tangan Thalia—melarangnya pergi. “Anggap ini ucapan terima kasih ibu, karena kamu sudah menjaga Dafa.”

Thalia terpaku—masih menatap selembar uang merah berlambang seratus ribu rupiah itu.

“Kamu anak baik dan pemberani. Semoga kita bertemu lagi suatu saat nanti ya..” ujar ibu itu seraya membenamkan uang seratus ribu ke genggaman Thalia. Ibu itu memeluk Thalia sebentar lalu berlalu pergi.

Thalia mengangguk dan melambaikan tangan ke arah ibu dan anak laki-laki tadi yang kemudian menghilang dibalik xenia hitam. Thalia lalu berlari menuju rumahnya dan mencari celengan ayam yang disembunyikannya dibawah tumpukan baju. Ia memasukkan uang merah tadi ke dalamnya dengan senyum puas.

Kerja kerasnya seharian menjajakan tisu, ternyata baru dibayar Tuhan sore ini. Lewat seorang ibu muda yang mencari anaknya. Thalia memutuskan untuk mengakhiri langkahnya untuk seharian ini. Ia sudah sangat lelah dan tenggorokannya sudah sangat kering. Thalia kemudian menuntaskan dahaganya lalu tertidur di sebelah celengan ayam yang baru saja diisinya dengan senyum mengembang.

T.S, 22 Agustus 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun