Thalia lalu kembali mengitari jalan itu—mencari-cari seorang ibu yang terlihat kehilangan anaknya. Ia sudah melupakan dagangan tisunya yang belum laku atau tentang kemungkinan apa yang akan terjadi ketika preman-preman kembali mendatanginya.
Thalia akhirnya melihat. Seorang ibu yang terduduk lesu di pinggir trotoar. Thalia sudah memperhatikan ibu itu sebelumnya yang terus menerus menanyai ‘apakah ia melihat anak laki-lakinya’ kepada setiap orang yang ditemuinya.
Thalia ragu-ragu mendekati sang ibu. Namun kali ini wanita itu tak menanyainya. Ia hanya terduduk lesu, mungkin sudah lelah bertanya.
“Ibu.. ibu kehilangan anak ibu?” tanya Thalia pelan.
Sang ibu mengangguk lemah. “Anak laki-laki. Tingginya mungkin baru satu meter. Namanya Dafa,” sahut sang ibu tanpa memandang Thalia.
“Apa dia pakai baju putih dan topi abu-abu?” tanya Thalia lagi.
Mata sang ibu tiba-tiba berbinar. “Ya.. Iya.. Dia pakai baju putih dan topi abu-abu. Kamu lihat dimana dia?” Ibu itu hampir berteriak—saking antusiasnya.
“Lihat bu. Dia nunggu ibu di warung sebelah sana. Mari bu.”
Sang ibu terlihat tak percaya. Ia menatap Thalia sebentar untuk meyakinkan diri. Lalu mengangguk dan mengikuti langkah Thalia.
“Saya melihatnya menangis di dekat taman itu bu. Lalu saya minta dia menunggu di warung. Dia kehausan.” Thalia melanjutkan tanpa diperintah.
“Makasih ya dek, kamu baik sekali.” Sang ibu tampak telah memercayai Thalia sepenuhnya.