Thalia memutuskan menghampiri anak laki-laki tersebut untuk menenangkannya. “Dek kamu kenapa?”
Anak laki-laki itu tetap saja menangis dan tak menggubris kehadiran Thalia.
“Ibumu kemana? Kamu kesini sama siapa?” tanya Thalia lagi.
Kali ini tangis anak laki-laki itu mereda. “Ibu mana… ibu…,” raungnya lalu kembali menangis kencang.
Thalia kemudian mengerti, ia menolehkan kepalanya, menyipitkan mata untuk mencari sosok seorang ibu yang mungkin sedang mencari anaknya.
“Kamu sebaiknya tunggu di warung itu dulu,” Thalia menunjuk warung tempatnya tadi membeli minuman, sambil menarik tangan anak laki-laki itu yang ternyata lebih kecil dari genggamannya.
“Aku bakal cariin ibu kamu. Tapi kamu jangan kemana-mana ya. Tunggu di warung itu,” sahut Thalia. Kemudian anak laki-laki itu mengangguk patuh.
“Aku haus kak,” rengek anak laki-laki itu sebelum Thalia pergi.
Thalia tiba-tiba menyadari bahwa sebelah tangannya masih memegang aqua gelas yang belum sempat dicecapnya. Akhirnya dengan berat hati ia memberi aqua gelas itu kepada anak laki-laki tadi.
“Tapi ini kan punya kakak,” tolak anak laki-laki itu sementara matanya berkilat haus kea rah aqua gelas di tangan Thalia.
“Oh, kakak udah nggak haus,” balas Thalia seraya menaruh aqua gelas itu di tangan si anak laki-laki.