Akhirnya Thalia menerima bungkusan nasi itu dengan tangan gemetar. Ia langsung merobeknya karena perutnya sudah tak tahan lagi menahan lapar—akibat menangis. Setelah makanannya habis, Thalia kembali menjajakan tisunya—kali ini dengan suntikan semangat baru karena ia sudah kenyang. Langkah kakinya menjadi lebih mantap. Dan suaranya pun terdengar lebih lantang.
“Bu, tisunya dua ribuan.”
“Mba, tisunya mba.”
“Pa, tisunya.”
Terhitung setidaknya sudah lima kali ia mengitari jalanan ramai itu. Tapi tak seorang pun yang menyentuh tisunya. Hingga Thalia kembali terduduk lesu di sudut jalan.
Malam sebentar lagi datang. Ia terus menerus memikirkan bagaimana kalau prema-preman itu kembali menghadangnya dan meminta tagihan. Sedangkan ia hanya punya selembar dua ribuan—sisa hasil jualannya kemarin.
Sibuk memikirkan apa yang harus dilakukannya nanti membuat otak Thalia semakin macet dan tenggorokannya terasa kering. Ia sampai lupa bahwa ia belum meminum apapun setelah makan tadi.
Akhirnya Thalia memutuskan untuk mendatangi warung klontong dan mengeluarkan sisa uangnya untuk membeli aqua gelas.
Si ibu warung menyerahkan aqua gelas beserta kembaliannya dengan ramah ke tangan Thalia.
“Ini Thal,” ujar si ibu yang ternyata sudah kenal dengan Thalia.
Thalia tersenyum. Tapi belum sempat ia meneguk minumannya, perhatiannya teralihkan kepada seorang anak laki-laki yang berumur lebih muda dengannya sedang menangis di tepi jalan.