Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari Ketika Seorang Presiden Dilantik

13 Oktober 2024   09:45 Diperbarui: 13 Oktober 2024   10:16 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebentar lagi, seorang presiden akan menjadi mantan. Apa yang dipikirkan orang-orang di jalanan?

Aku sesungguhnya tidak peduli seorang presiden berakhir jabatan atau dia kawin lagi. Hutang-hutangku sudah cukup memusingkan, walau masih bisa aku hitung.

Di kios Bibi Sum, tiga bungkus rokok samsu. Di warung Tante Erni, aku memiliki buku harian yang berisi hutang makan, sebulan lebih--mungkin juga dua bulan. Padahal, sudah banyak sekali penghematan yang aku jalani.

Aku hanya makan siang sekali, malamnya supermi tanpa dimasak, lebih sering sepuntung rokok dan air putih saja.
Aku ke lokasi proyek setiap pagi dengan berjalan kaki sejauh tiga kilometer pergi dan pulang. 

Aku sudah menghindari main-main ke lokalisasi. Aku juga belum membayar kos-kosan selama tiga bulan. Dan aku baru saja dipecat.

Aku tidak mengerti mengapa mesti dipecat? Aku tidak mencuri semen, mengambil pasir diam-diam. Tidak menjual alat-alat pertukangan. Aku juga tidak menghamili anak perempuan mandor yang sering mengantar makan siang bapaknya.

"Biaya bahan membengkak, harus ada efisiensi. Salah satunya pengurangan tukang."

Mandorku, seseorang dengan perut besar dan mulut yang cerewet, menyampaikan ini seminggu yang lalu.  

Kami sudah mengerjakan 3 proyek perumahan yang sebesar ini, tidak pernah ada masalah. Semua bekerja hingga selesai, kecuali mereka yang mengundurkan diri. Proyek-proyek ini selesai tapi kami tetap saja tak bisa bebas sepenuhnya dari berhutang.

Aku pikir, ini akal-akalan saja.
***

Pagi ini, minggu kedua, aku makin sering terdiam menghadap jendela kamar. Takada yang menemani duduk selama ini. Hanya kepul tembakau, bau mulutku sendiri, dan udara kamar yang pengap.

Juga pikiranku yang bertambah buntu.

"Lebih baik, ke kampung dulu. Menunggu kabar proyek baru lagi," kata Mirwan, kawan sekamarku. Kampung?

Aku tak pernah bilang ke Mirwan yang disebut kampung halaman tidak pernah ada dalam sejarah hidupku. Boro-boro, mengetahui siapa ayah dan ibuku saja, aku buta.

Aku dirawat sebuah panti, kemudian ketika baru lulus SMP, kabur ke kota ini. Aku bukan ingin mengadu nasib, bosan menjalani hidup dalam keteraturan panti.

"Atau ikut aku dulu, sebulan di sana juga tak apa-apa, kok. Sembari belajar mengurusi lahan pertanian, gimana?"

Mirwan memang pria baik. Ia punya dua anak dan seorang istri yang sabar menunggu. Selama bekerja sepertiku, dia tak pernah membuat masalah karena menuruti kesepian atau kesenangan diri.

"Terima kasih. Tapi sepertinya aku di sini dulu."

Mirwan pergi dan aku tidak memiliki solusi. Aku tak ingin berhutang budi lagi, sudah terlalu banyak.
***

Dua tahun berselang, kota ini giat membangun dirinya. Ada banyak sekali perumahan sedang dikebut pengerjaannya.

Maklumlah, ia disebut-sebut akan jadi penyangga utama dari Ibukota Baru. Aku sering mendengar orang-orang membicarakan ini ketika makan di warung Tante Erni.

Seperti yang sudah kuceritakan, selama dua tahun di sini, aku terlibat tiga proyek perumahan.

Sebab itu, tak pernah khawatir bakal tak punya pekerjaan. Dengan gairah membangun seperti ini, selalu ada saja proyek yang butuh tenaga tukang tak lulus SMP. Tak masalah andai proyek itu hanya membuat sebuah ruko atau jamban komunitas.

Yang penting bekerja, membayar hutang, tetap merokok, dan membayar tagihan kos. Bisa tidur dengan kenyang tanpa disirami hujan saja sudah cukup. Menurutku, hidupku cukup stabil, tak banyak kecemasan.

Lalu, di tahun kedua, aku berani berpacaran dengan Elen. Sudah empat bulan usia percintaan kami.

Elen seperti diriku. Maksudku, ia perempuan muda dengan pendidikan yang tak tinggi. Ia sudah cukup senang diajak ke pasar malam atau nongkrong di warung kaki lima pinggir jalan.  Ia tulus, sabar dan tak memiliki rencana muluk-muluk.

Di sini, Elen juga perantau. Dia mula-mula bekerja sebagai karyawati sebuah minimarket. Karena kerjanya bagus, ia dipindahkan tuannya. Sekarang, ia ditugaskan mengurusi rumah besar yang ditinggali istri kedua, perempuan pesolek yang galak dan gemar berpesta.

Elen sudah tak betah tapi aku dan dia tak punya cukup pilihan untuk berhenti.

"Memang ada banyak pekerjaan, tapi proyek bangunan. Itupun sesudah kelar, perumahannya juga masih banyak yang sepi. Apakah kamu bisa bekerja sebagai tukang bangunan, Len?"

Elen diam saja, seperti biasa ketika kita dihadapkan pada jalan buntu.  

"Aku juga belum bisa mengongkosi kebutuhanmu kalau berhenti kerja."
Dan kita tidak bicara lagi.

Hanya ada ciuman yang panjang, nafas yang berdesah-desah, dan keringat yang meluapkan lupa malam itu. Seperti malam-malam sebelumnya.
***

Hari ini, aku mendengar kabar di warung Tante Erni. Seorang presiden baru akan dilantik, tapi tak banyak yang bersorak-sorai. Tidak seperti ketika mendengar kabar Ibukota Baru dan kota ini menjadi penyangga utamanya.

Orang-orang ini, dengan hutang berjilid-jilid seperti diriku, makan dalam kebisuan. Aku kira mereka adalah orang-orang susah yang suka memikirkan politik.

"Presiden yang baru ini cuma akan bikin masalah," kata salah satunya.
"Aku dengar, ia tidak akan melanjutkan proyek Ibukota Baru."

Tambah yang lainnya. "Jadi, kota ini akan sepi lagi, kota yang tidak pernah dikenali? Lalu, bagaimana dengan rumah-rumah yang sudah dibangun itu?"

Aku sedikit mengerti apa yang disebut efisiensi oleh mandorku tempo hari.

"Mau presiden baru atau ibukota lama, hutang kalian tidak bisa diputihkan," sergah Tante Erni. Semua mulut kembali diam, makan dengan kecemasannya sendiri-sendiri.

"Jangan bikin aku bangkrut, ya."
***

Minggu ketiga, hari ini, pelantikan presiden baru. Aku kembali ke depan jendela.

Elen sudah dua hari tidak ke sini, katanya ia agak kurang sehat. Sering berasa mual, sesekali muntah. Ia merasa wajahnya lebih terlihat pucat.

Seorang pedagang sayur melintas di depan jendelaku yang memang menghadap jalan gang. Dia berhenti, menonton gawainya. Ibu-ibu sepertinya sedang berkumpul di depan televisi.

Ada suara seseorang, seperti berpidato.

"Saat ini, kita sedang di masa-masa susah, krisis global membayang di depan mata. Ada perang yang bakal meluas di Timur Tengah. Ada ketegangan di Laut China Selatan yang berpotensi menjadi perang juga. Kita mengalami deflasi beruntun, daya beli merosot. Tak ada pilihan, kita harus mengambil jalan ekonomi dengan ikat pinggang yang ketat."

Aku tak sepenuh mengerti maksudnya apa. Ada perang? Apa itu jalan ekonomi dengan ikat pinggang yang ketat?

"Seluruh proyek yang dikerjakan dari masa sebelumnya, akan ditinjau kembali."

Aku menunggu komentar si tukang sayur, tapi dia cuma bilang, "Katanya kemarin keberlanjutan..."
***

Tiba-tiba saja pintu kamarku terbuka, Elen masuk dengan sesenggukan.
"Den, aku telat."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun