Pagi ini, minggu kedua, aku makin sering terdiam menghadap jendela kamar. Takada yang menemani duduk selama ini. Hanya kepul tembakau, bau mulutku sendiri, dan udara kamar yang pengap.
Juga pikiranku yang bertambah buntu.
"Lebih baik, ke kampung dulu. Menunggu kabar proyek baru lagi," kata Mirwan, kawan sekamarku. Kampung?
Aku tak pernah bilang ke Mirwan yang disebut kampung halaman tidak pernah ada dalam sejarah hidupku. Boro-boro, mengetahui siapa ayah dan ibuku saja, aku buta.
Aku dirawat sebuah panti, kemudian ketika baru lulus SMP, kabur ke kota ini. Aku bukan ingin mengadu nasib, bosan menjalani hidup dalam keteraturan panti.
"Atau ikut aku dulu, sebulan di sana juga tak apa-apa, kok. Sembari belajar mengurusi lahan pertanian, gimana?"
Mirwan memang pria baik. Ia punya dua anak dan seorang istri yang sabar menunggu. Selama bekerja sepertiku, dia tak pernah membuat masalah karena menuruti kesepian atau kesenangan diri.
"Terima kasih. Tapi sepertinya aku di sini dulu."
Mirwan pergi dan aku tidak memiliki solusi. Aku tak ingin berhutang budi lagi, sudah terlalu banyak.
***
Dua tahun berselang, kota ini giat membangun dirinya. Ada banyak sekali perumahan sedang dikebut pengerjaannya.
Maklumlah, ia disebut-sebut akan jadi penyangga utama dari Ibukota Baru. Aku sering mendengar orang-orang membicarakan ini ketika makan di warung Tante Erni.