Dua tahun berselang, kota ini giat membangun dirinya. Ada banyak sekali perumahan sedang dikebut pengerjaannya.
Maklumlah, ia disebut-sebut akan jadi penyangga utama dari Ibukota Baru. Aku sering mendengar orang-orang membicarakan ini ketika makan di warung Tante Erni.
Seperti yang sudah kuceritakan, selama dua tahun di sini, aku terlibat tiga proyek perumahan.
Sebab itu, tak pernah khawatir bakal tak punya pekerjaan. Dengan gairah membangun seperti ini, selalu ada saja proyek yang butuh tenaga tukang tak lulus SMP. Tak masalah andai proyek itu hanya membuat sebuah ruko atau jamban komunitas.
Yang penting bekerja, membayar hutang, tetap merokok, dan membayar tagihan kos. Bisa tidur dengan kenyang tanpa disirami hujan saja sudah cukup. Menurutku, hidupku cukup stabil, tak banyak kecemasan.
Lalu, di tahun kedua, aku berani berpacaran dengan Elen. Sudah empat bulan usia percintaan kami.
Elen seperti diriku. Maksudku, ia perempuan muda dengan pendidikan yang tak tinggi. Ia sudah cukup senang diajak ke pasar malam atau nongkrong di warung kaki lima pinggir jalan. Â Ia tulus, sabar dan tak memiliki rencana muluk-muluk.
Di sini, Elen juga perantau. Dia mula-mula bekerja sebagai karyawati sebuah minimarket. Karena kerjanya bagus, ia dipindahkan tuannya. Sekarang, ia ditugaskan mengurusi rumah besar yang ditinggali istri kedua, perempuan pesolek yang galak dan gemar berpesta.
Elen sudah tak betah tapi aku dan dia tak punya cukup pilihan untuk berhenti.
"Memang ada banyak pekerjaan, tapi proyek bangunan. Itupun sesudah kelar, perumahannya juga masih banyak yang sepi. Apakah kamu bisa bekerja sebagai tukang bangunan, Len?"
Elen diam saja, seperti biasa ketika kita dihadapkan pada jalan buntu. Â