"Aku juga belum bisa mengongkosi kebutuhanmu kalau berhenti kerja."
Dan kita tidak bicara lagi.
Hanya ada ciuman yang panjang, nafas yang berdesah-desah, dan keringat yang meluapkan lupa malam itu. Seperti malam-malam sebelumnya.
***
Hari ini, aku mendengar kabar di warung Tante Erni. Seorang presiden baru akan dilantik, tapi tak banyak yang bersorak-sorai. Tidak seperti ketika mendengar kabar Ibukota Baru dan kota ini menjadi penyangga utamanya.
Orang-orang ini, dengan hutang berjilid-jilid seperti diriku, makan dalam kebisuan. Aku kira mereka adalah orang-orang susah yang suka memikirkan politik.
"Presiden yang baru ini cuma akan bikin masalah," kata salah satunya.
"Aku dengar, ia tidak akan melanjutkan proyek Ibukota Baru."
Tambah yang lainnya. "Jadi, kota ini akan sepi lagi, kota yang tidak pernah dikenali? Lalu, bagaimana dengan rumah-rumah yang sudah dibangun itu?"
Aku sedikit mengerti apa yang disebut efisiensi oleh mandorku tempo hari.
"Mau presiden baru atau ibukota lama, hutang kalian tidak bisa diputihkan," sergah Tante Erni. Semua mulut kembali diam, makan dengan kecemasannya sendiri-sendiri.
"Jangan bikin aku bangkrut, ya."