Kelima, politik adalah seni menyerang ketidakmungkinan. Pada ujung kisah, Laras dan sekutunya mendapat bukti-bukti yang mengarah pada Gita, lantas berfikir sedang menemukan kartu mati Gita.Â
Mereka merancang podcast di mana skandal yang menghancurkan rumah tangga Laras akan diungkap dalangnya.
Yang mereka abaikan, Gita adalah perempuan dalam politik, perempuan karena politik, perempuan untuk politik.
Ia bukan saja tidak mudah dimakan kepanikan, apalagi sedu sedan keharuan seperti Laras dan sekutunya. Gita jauh lebih memiliki variasi siasat dan selalu memiliki perhitungan yang berlapis terhadap segala macam kemungkinan.
Politik baginya adalah the art of attacking the impossible--frasa yang dicetuskan oleh filosof Alain Bodiu.Â
Keenam, lelaki adalah seburuk-buruknya korban politik. Puncak dari 10 episode Gelas Kaca adalah pembalikan tak terduga yang dilakukan Raka.Â
Serangan Laras, dkk dibikin seperti pukulan yang menghajar bayangan sendiri. Raka memilih membela Gita dan melepas keluarga demi ambisi politiknya. Ia melihat masa depannya sebagai ketua partai dengan elektabilitas yang baru.Â
Raka memilih menjadi pion dari skenario Gita. Ia telah menjadi jenis baru yang tidak lagi mau berikat pada janji-janji lama (al: kesetiaan kepada keluarga, family man).Â
Persekutuannya dengan Gita adalah koalisi politik yang berikat pada kepentingan kekuasaan, mungkin dengan pernikahan sebagai pemanis saja.
Raka adalah gambar ketika laki-laki menjadi korban politik, tanpa imajinasi, minus strategi tandingan, dan nirinisiatif. Satu-satunya yang ia miliki ambisi yang menghalalkan apa saja.Â
Bukankah yang semacam ini adalah jenis korban kekuasaan yang sungguh-sungguh buruk?