Kehendak membuat yayasan yang melayani pendidikan dibicarakan dengan semua anaknya.Â
Saya sontak tersadarkan, dan malu sendiri. Sesudah puluhan tahun mengabdikan diri sebagai guru di Papua, Bapak tidak benar-benar ingin beristirahat di kampung halamannya.Â
Pensiun hanyalah pembatasan dari negara, bukan nasib yang dijemput dengan berserah diri.Â
Bapak jelas bukan golongan yang seperti itu. Bapak masih ingin melakukan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Â
Mengutip terminologi anak-anak senja, jiwa yang semacam ini adalah kehendak yang terus berjuang menemukan versi terbaik dari dirinya.
Bagi Bapak, studi magister hanyalah fasilitas untuk mendukung dalam mengerjakan cita-cita yang belum tercapai. Sebab itu, bukanlah gelar-formalitas sebagai perkara utama--orang bisa membayar untuk ini.Â
Tapi fokuslah pada keilmuan yang menguatkan kapasitas diri dan kesungguhan melayani.
Motivasi berpedidikan yang meletakan diri dalam semesta pengabdian pada masyarakat jelas bukan khas Bapak saya. Motivasi pengabdian yang seperti ini bahkan masih berakar dalam kebudayaan masyarakat.Â
Dalam falsafah itu, manusia bukan saja terikat pada lingkungan dari mana berasal. Manusia dituntut untuk memberi makna terhadap kehidupan, menjadikan sesamanya sebagai manusia bermartabat. Â
Sam Ratulangi mengeksplisitkan spirit ini dengan kalimat Si Tou Timou Tumou Tou.Â
Berpengetahuan adalah salah satu fasilitas untuk bermakna bagi sesama dan memiliki gelar S2 atau S3 tidak lantas membuatnya menjadi sederhana.