Bapak dengan caranya yang bersemangat melewati ini dalam dua tahun yang nyaris tanpa drama keluhan atau kelelahan.
Di sepanjang proses berkuliah, pencapaian berikutnya yang membuat kami semakin merasa tak bakal bisa menyaingi Bapak selamanya, adalah kemampuannya beradaptasi dengan tuntutan teknologi.Â
Bapak saya adalah angkatan Baby Boomers. Namun kesediaannya membuka diri dan belajar pada kekinian menjadikannya berhasil menguasai mesin ketik hingga Personal Computer. Bapak yang dulu mengirim kabar kepada istrinya lewat layanan Telegram atau Surat Pos, bahkan memiliki email.Â
Banyak dari tugas perkuliahannya diketik sendiri. Sesekali memang meminta bantuan diperiksa kerapiannya atau mendiskusikan ide dan strukturnya. Tulisan-tulisan Bapak yang langsung dan tegas adalah ciri khas yang saya sukai.Â
Perlahan, seiring waktu, kesibukan, dan bertambahnya usia, Bapak akhirnya lulus. Pantas menyandang gelar magister Manajemen Pendidikan.Â
Hampir bersamaan lulus dengan anak perempuan satu-satunya, adik nomor dua saya, yang menyelesaikan studi magister di Universitas Diponegoro, Semarang.
Pertanyaannya seketika berganti. Anak perempuannya adalah seorang dosen di Manokwari, Papua Barat. Dia akan kembali, mengajar dan dalam beberapa tahun di muka melanjutkan studi doktoral. Sedangkan Bapak dengan Magister Manajemen Pendidikan, mau ngapain?
Hidupnya tidak lagi berurusan dengan karir atau ambisi yang berhubungan dengan perebutan posisi tertentu di perusahaan negara.
"Saya melanjutkan S2 biar dapat ilmunya. Selain itu, ada cita-cita yang belum terwujud. Kampung ini juga tidak banyak berubah sejak saya tinggal merantau.."
Jadi, "Bapak maunya bagaimana?"
"Saya ingin mendirikan yayasan. Nanti dikelola keluarga kita, kamu, adik-adikmu, dan sepupu-sepupumu. Yayasan ini bergerak di bidang pendidikan dan pemberdayaan ekonomi. Saya ingin (yayasan) bisa membantu warga di kampung sini."