Kedua, Â di perantauan kamu akan mengalami banyak hal yang menguji daya juang kesendirianmu. Kecuali kamu sekolah di sistem asrama yang semuanya sudah disiapkan.Â
Mulai dari perkara makan, pakaian bersih, kamar yang nyaman, teman-teman yang pengertian hingga keberterimaan dengan lingkungan budaya yang berbeda. Kecuali kamu hanya pergi ke kecamatan sebelah atau ibukota kabupaten yang hanya 4 jam dari rumahmu.
Karena itu kamu harus selalu menyiapkan dirimu sebagai pribadi yang terbuka pada hal-hal baru, selain berkembang sebagai sosok yang makin mandiri. Oh ya, saya belum menemukan perantau dengan mentalitas tertutup yang berhasil.Â
Mungkin kamu membawa beberapa kebiasaan atau prinsip diri dari rumah, modalitas yang bisa relevan atau tidak di perantauan.Â
Misalnya, jika kamu masih punya kebiasaan makan disuap ibu, kamu harus menyadari rasa kangen terhadap suapan itu bukan tema yang bagus dan instagramable!
Ketiga, sikap terbuka adalah satu perkara. Kamu juga mesti memperkuatnya dengan  kelenturan dan kemampuan adaptif.Â
Tanah perantauan pada prinsipnya adalah ketika semua yang mula-mula outsider berkembang menjadi insider. Orang-orang datang untuk menjadi bagian dari hidup bersama yang baru, bukan untuk menjaga batas-batas asal-usul. Apalagi menjadi tuan-tuan baru yang merasa paling harus didahulukan. Kalau dalam pepatah Minang, "Lauik sati, rantau batuah".
Paling tidak itu mula-mula terlihat dari perubahan berangsur-angsur dari caramu berkomunikasi yang mengalami "lokalisasi".
Keempat, jika kamu adalah golongan yang pergi mencari ilmu, maka itu tidak bakal cukup dipenuhi dengan ritus kamar kost-sekolah pulang pergi-setiap hari-sepanjang tahun-hingga-pengumuman kelulusan.Â
Ritus seperti ini mungkin sukses menuntunmu mendapat selembar ijazah, tapi tidak mendapat mantan, eh.
Saya masih percaya tanah rantau adalah tempat terbaik yang membantu menjadikan ilmu yang dipelajari lebih berkarakter. Ilmu yang terlibat dalam kesulitan-kesulitan khas perantau: pas harus fokus ujian semester, pas gak ada nasi di ricecooker. Â