Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perkara-Perkara yang Membatalkanmu Meraih Status Perantau

3 Juli 2022   21:45 Diperbarui: 5 Juli 2022   08:22 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Merantau | pixabay

Peringatan: Saya adalah jelata dari Tanah Papua yang sejak tahun 1999 sudah belajar tabah di perantauan hingga saat menulis ini. Tentu saja masih muda dan sangat bau kencur. Tapi merasa tetap harus menulis sedikit tips agar ketika anak saya membutuhkannya, silakan jalan-jalan ke Kompasiana. 

Pertama, perantau bukanlah mereka yang sekadar pergi jauh dari rumah untuk beberapa saat demi ideal tertentu yang diniatkan. 

Tentu saja rumah itu bukanlah semata bangunan belaka yang terletak di alamat tertentu. Rumah itu adalah keluarga, kasih sayang dan kenangan yang terbentuk di dalamnya, yang membuatnya berharga dan berbeda. 

Sehingga ketika kita harus pergi dan berada di jarak yang jauh, ada kerinduan yang menyala-nyala. Walau begitu, tidak semua perantau berlatar belakang rumah dan keluarga yang baik-baik saja, harmonis lagi mapan berkecukupan.

Ada kasus begini. Di awal tahun 2000an, di Manado, saya pernah menjadi saksi dari kesedihan yang konyol dari seorang pelajar yang baru akan masuk universitas. Belum ada Facebook, Instagram, WhatsApp, dkk-nya.

Saat itu adalah hari terakhir puasa Ramadan dan sehari sebelumnya adalah jadwal terakhir kapal ke Ternate. Saya sudah memintanya untuk pulang karena mendengar takbir berkumandang di malam pertama merantau adalah musik bagi kesedihan yang gigil.

Dia ngotot tak mau pulang. Sembari menantang, "Perantau macam apa yang baru datang sudah libur lebaran."

Dalam hati saya, wahai pemula, kamu belum tahu rasanya. Dan saya terpaksa harus melihatnya menangis tersedu-sedu. "Kalau tahu begini rasanya, saya sudah beli tiket kemarin," katanya penuh sesal. 

Maka bekal psikologi pertama para perantau adalah jangan pernah kalah apalagi menyerah karena siksaan rindu. Apalagi di hidup yang kini terdigitalisasi hingga ke kamar mandi ini, berkomunikasi sudah tak mengenal telegram, surat pos, termasuk mengantri di warung telekomunikasi (wartel). 

Dunia hari ini adalah semesta dalam koneksi. Kapan saja kau bisa melihat wajah ibu atau bapakmu. Karena itu, jika perkaranya homesick, mestinya tidak perlu lagi bertele-tele.

Kedua,  di perantauan kamu akan mengalami banyak hal yang menguji daya juang kesendirianmu. Kecuali kamu sekolah di sistem asrama yang semuanya sudah disiapkan. 

Mulai dari perkara makan, pakaian bersih, kamar yang nyaman, teman-teman yang pengertian hingga keberterimaan dengan lingkungan budaya yang berbeda. Kecuali kamu hanya pergi ke kecamatan sebelah atau ibukota kabupaten yang hanya 4 jam dari rumahmu.

Karena itu kamu harus selalu menyiapkan dirimu sebagai pribadi yang terbuka pada hal-hal baru, selain berkembang sebagai sosok yang makin mandiri. Oh ya, saya belum menemukan perantau dengan mentalitas tertutup yang berhasil. 

Mungkin kamu membawa beberapa kebiasaan atau prinsip diri dari rumah, modalitas yang bisa relevan atau tidak di perantauan. 

Misalnya, jika kamu masih punya kebiasaan makan disuap ibu, kamu harus menyadari rasa kangen terhadap suapan itu bukan tema yang bagus dan instagramable!

Ketiga, sikap terbuka adalah satu perkara. Kamu juga mesti memperkuatnya dengan  kelenturan dan kemampuan adaptif. 

Tanah perantauan pada prinsipnya adalah ketika semua yang mula-mula outsider berkembang menjadi insider. Orang-orang datang untuk menjadi bagian dari hidup bersama yang baru, bukan untuk menjaga batas-batas asal-usul. Apalagi menjadi tuan-tuan baru yang merasa paling harus didahulukan. Kalau dalam pepatah Minang, "Lauik sati, rantau batuah".

Paling tidak itu mula-mula terlihat dari perubahan berangsur-angsur dari caramu berkomunikasi yang mengalami "lokalisasi".

Keempat, jika kamu adalah golongan yang pergi mencari ilmu, maka itu tidak bakal cukup dipenuhi dengan ritus kamar kost-sekolah pulang pergi-setiap hari-sepanjang tahun-hingga-pengumuman kelulusan. 

Ritus seperti ini mungkin sukses menuntunmu mendapat selembar ijazah, tapi tidak mendapat mantan, eh.

Saya masih percaya tanah rantau adalah tempat terbaik yang membantu menjadikan ilmu yang dipelajari lebih berkarakter. Ilmu yang terlibat dalam kesulitan-kesulitan khas perantau: pas harus fokus ujian semester, pas gak ada nasi di ricecooker.  

Kelima,  masih terhubung dengan perkara di bagian ketiga. Para perantau yang jempolan mesti menjadikan kota yang menjadi ruang rantaunya sebagai kampung halamannya yang lain. Sebab itu, sikap terbuka, kelenturan dan kemampuan adaptif akan menciptakan dosis tertentu dari perasaan betah, perasaan "at home".

Tanpa ini, momen liburan singkat ataupun panjang akan terasa seperti penantian yang tak berujung. Padahal sejatinya momen seperti itu adalah kesempatan untuk merangkul kembali kehangatan akan rumah, bukan untuk pulang dan tidak kemana-mana lagi.

Kau datang ke dunia ini tanpa selembar benang dan akan kembali dalam kesendirian. 

Maka, pesan ibu saya, kemana pun merantau jadikanlah tetanggamu sebagai saudaramu paling dekat. Sebab kepada merekalah saling menolong akan dikolaborasikan.

Keenam, sebab itu juga berusaha menjadikan dirimu sebagai perantau yang sehari-harinya mengalami perjumpaan dari kemajemukan suku-suku bangsa di Nusantara. Kurangi mencari-cari dalih karena mengobati kerinduan, kamu hanya betah berkumpul dengan sesama perantau yang sekampung. 

Beda perkaranya jika kamu merantau ke negeri yang asing, seperti Tiongkok atau Honduras. 

Sebab jika merantaumu di satu teritori bangsa yang sama hanya bertahan karena berkumpul dengan mereka yang datang dari kampungmu juga maka kamu telah membuang kesempatan menjadi manusia Indonesia. 

Kesempatan menjadi warga nasion yang tidak usah dikejar-kejar penataran sejenis P-4 demi membumikan Pancasila dan mencintai sesama anak bangsa. Kamu tidak memberi kesempatan negara memiliki dalih untuk mengisi kesadaranmu.

Ketujuh, berusahalah untuk jatuh cinta di tanah rantau walau kehadiranmu terasa singkat. Kepada apapun yang membuatmu dibekali panggilan akan hidup yang berguna bagi sesama tidak mesti dengan kembali ke kampung halaman.

Kepada alamnya, kepada sejarah dan budayanya, kepada kebaikan orang-orangnya. Atau kepada seseorang yang bersedia menjadi tempatmu berkeluh kesah semasa sekolah.

Saya pernah melihat jiwa dengan panggilan yang kuat seperti ini pernah ada pada para pensiunan guru di kota kecil Serui, Papua. Mereka datang dari tempat-tempat yang jauh demi mengajar di sekitaran tahun 1980-90an. 

Ada banyak dari mereka yang pulang tapi sisanya bertahan sampai pensiun. Beberapa lagi memilih meninggal di perantauan. Para guru ini bertahan karena ingin mengabdikan hidup sebagai pendidik.

Kamu mungkin berpikir sebagai pelajar pra-universitas, sikap seperti di atas terlalu hebat. Tapi kalau kamu membaca karya-karya Pramoedya, seorang terpelajar mestinya "Berterimakasihlah pada segala yang memberi kehidupan". 

Sekolah sebaiknya tidak menjadikanmu seperti celengan. Dan para perantau hari ini jangan sampai terlalu kalah dari perantau zaman dulu. Bersatulah para pelajar perantau! Ehe.

Kedelapan, kamu harus berani merantau! Bukan saja karena perkara-perkara di atas tidak akan menjumpai hidupmu jika tidak melakukannya. Tapi juga demi mengayakan perjalanan hidup yang tidak seberapa panjang ini. 

Demi mengumpulkan cerita-cerita yang mungkin akan memberimu sedikit saja kebanggaan dan kebahagiaan dari bermacam-macam kegagalan dan kekecewaan. Beranilah dengan memulai.

Kalau mengikuti nasehat Lao Tzu, "The journey of a thousand miles begins with one step".  Begitu kira-kira. 

Tabik! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun