Kemarin Selasa, yang membentang di atas gunung Klabat, Airmadidi hanyalah mendung, angin dingin dengan sesekali gerimis. Pagi terasa suram, tak sekadar malas dan pengennya dipeluk.Â
Tapi Mahardika tetap meminta keluar rumah, "Sudah lama kita tidak beli snack, Yah."
Padahal selalu diingatkan pesan bu dokter yang sering dikunjungi jika Mahar kurang sehat. "Kurangi snack. Perbanyak makan buah. Ibu bisa beli buah jeruk atau buah apa saja. Yang penting dia suka," terang dokter kepada bundanya.
"Jeruk itu asam, tahu." Eh buset, tiba-tiba nyeletuk ini bocah 4 tahun sambil menepuk jidat. Seolah mengatakan, masa yang begini saja dokter gak tau.Â
Dokternya mau ketawa juga tapi lebih memilih menjelaskan. Jeruk bukan cuma manis dan asam. Ada juga yang pasang surut, kayak Juventus kesayangan ayahmu. Hmm.
"Kan sudah dilarang dokter." tegas saya lagi. "Sudah lama kita tidak beli snack, Ayah." Balasnya keukeuh. Begitulah terus. Kesepakatannya: saya akan ke Alfamart untuk beli popok.
Maka berangkatlah. Gerimis masih turun. Tapi mesti mampir dulu ke Automatic Teller Machine milik Bank Mandiri. Dulu, gerainya tersebar di tiga titik. Entah karena alasan apa sekarang tersisa di satu tempat.Â
Kadang-kadang tak bisa berfungsi juga, aneh. Jadi mesti ngantri lebih lama.
Di depan saya, ada seorang bule dan seorang ibu. Parkiran lumayan sesak. Hari yang sibuk rupanya.
Giliran saya. Melangkah mantap, mengeluarkan kartu dan menatap layar. Wah, ada gambar bapak menteri Erick Thohir dengan tulisan besar AKHLAK. Segenap Interisti semestinya tahu dong kalau mantan bosnya ini sedang meletakkan spirit baru Badan Usaha Milik Negara (BUMN).Â
AKHLAK itu singkatan dari Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, Kolaboratif. Tata nilai baru ini adalah penanda (niat) transformasi BUMN sesudah ultah ke-22, bulan Juli kemarin.Â
Tentu kamu boleh sekali curiga AKHLAK adalah semacam reinvensi dari afiliasi Etik Protestan dan Kapitalisme yang dirumuskan Max Weber dulu. Kali ini, di sebuah negeri yang berbuih-buih dengan bonus demografi, ada nada sejenis yang diletakan seorang menteri.Â
Kecurigaan gaya begini adalah urusanmu semata wayang. Yang jelas watak "State-led Development" belum kemana-mana. Dan cerita pagi kemarin milik saya ini tidak berhenti di sini. Belum genap seribu kata.
Seperti iklan bagi tontonan yang menjemukan, kunjungan ke mesin ATM karena mesin gesek debit di Alfamart sering ngadat. Nyambungnya dimana ya?!
Parkirannya yang luas itu sedang sepi. Hanya ada 3 buah motor dan sebuah mobil.Â
Di dalam, di balik meja kasir yang di belakangnya bersusun bungkus rokok segala merek, seorang gadis berjilbab sedang melayani. Seorang bamud membacakan beberapa nomor, si gadis mengulangnya dan membaca sebuah nama. Mereka tidak bertukar nomor telpon. Hanya membayar tagihan.Â
Saya terus ke belakang. Menuju rak kebutuhan anak-anak.Â
Sesegera mungkin kembali ke kasir. Berharap tak ketemu antrian lagi. Ternyata ada seorang perempuan, saya kira 60an, sedang berdiri di samping si bamud. Pakaiannya agak lusuh. Tanpa alas kaki. Heh, tak pakai alas kaki?
Saya periksa lagi. Benar tak ada sendal di sana? Nihil.Â
Kamu tahu apa yang saya pikirkan, bukan?Â
Ya betul. Ini hari mendung, gerimis dan angin dingin. Seorang ibu paruh baya pergi ke toko tanpa alas kaki, pakaiannya lusuh. Jangan-jangan beliau kurang sehat.Â
Oh iya, tempat bernama Airmadidi itu terletak di antara Manado yang tumbuh bersama reklamasi, mall, hingga pusat-pusat kesenangan urban dan Bitung sebagai kota pelabuhan yang dipenuhi hilir mudik truk konteiner. Maksud saya, peradaban alas kaki sudah lama dikenal.
Otomatis kepo-lah jiwa sosial saya yang lama terkunci di balik ruang kelas sebuah fakultas.
Tinggal di mana ibu ini? Dengan siapa dia tinggal? Dimanakah anak-anaknya? Bikin apa dia di tempat begini? Kamu siapa, kamu siapa?
Saya terus cemas. Jangan-jangan gadis yang menjaga mesin kasir bakal tak ramah. Mungkin merasa risih. Kalau ibu ini bener-bener kurang sehat, saya akan membayar barang yang diambilnya.Â
Sumpah, gengs. Saya bukan jenis yang berjiwa sosial tinggi, mudah haru, sentimental dan seketika melibatkan diri dalam penderitaan sesama. Apalagi mendadak tercerahkan karena meresapi kalimat AKHLAK dan wajah si menteri di layar ATM bank Mandiri--apa-apaan pula ini?!
Alasanya sederhana saja. Hari terlalu pagi menjadi saksi sendu dari seorang ibu lusuh tanpa alas kaki. Ah, mainnya perasaan lagi nih. Barusan bilang tak mudah haru, huhu.Â
"Berapa ini?"
Lhoo, si ibu membeli barang?Â
Agak bergeser, di atas meja, saya lihat sebungkus gula sekiloan. Si gadis menjawab harganya yang tertulis di layar kecil dan menghadap ke kami berdua. Si ibu yang saya sangka kurang sehat mengeluarkan selembar duapuluh ribuan.Â
Beliau lalu keluar. Saya masih bengong. Beginilah kalau kamu yang konon terpelajar itu...Duh, gustiii.Â
Sesudah membayar keperluannya Mahardika, saya bergegas cabut. Ke parkiran, menyalakan mesin X-Ride dan berlalu. Ingin ngakak sama diri sendiri tapi gak etislah. Nanti malah dicurigai sayalah yang sesungguhnya kurang sehat.Â
Kawan, kadang-kadang kamu mesti jaim justru karena jauh dari ganteng!Â
Ketika hendak melaju, si ibu tadi berlalu di depan tatapan saya. Tak ambil pusing. Tak merasa sejak di dalam, saya telah menyusun macam-macam pertanyaan di kepala soal siapa dirinya. Eh, bentar. Apa itu di bawah sana?Â
Wahaai. Ibu ini memakai sendal dan membawa belanjaan. Hari Selasa memang hari pasar di Airmadidi. Ada seorang pria mengajaknya bicara, mungkin keluarganya. Akrab. Mungkin juga tukang ojek pangkalan yang dikenalnya.Â
Apakah karena lantainya dari tehel putih makanya si ibu melepas sendalnya di depan pintu?
Saya terus ingat di tahun 2000-an. Di depan sebuah ATM, di sekitar lingkaran Abe, Jayapura. Harinya gerimis juga. Saya sedang menunggu bapak. Lantas melintas seorang perempuan yang juga masuk ke ATM tanpa alas kaki.Â
Walau kakinya telanjang dan menenteng tas noken di kepala, dia terlihat terbiasa menarik duit dari mesin. Tak ada kecanggungan. Apalagi sampe pake nanya-nanya dulu.Â
Memang tak ada kausalitas antara pakai/tak pakai alas kaki dengan kebiasaan pakai kartu ATM sih. Mestinya saya gak usah kaget-kaget juga. Terpelajar kok kepalanya...nganu...
X-Ride sudah nyala. Saya melaju pelan-pelan. Pulang. Saya terus terkenang sebaris puisi. Judulnya Pulang juga.
Rinduku yang penuh
pecah di atas jalanan macet
sebelum aku tiba di ambang ambungmu.
Kegembiraanku sudah mudik duluan,
aku menyusul kemudian.
Judul sajakku sudah pulang duluan,
baris-baris sajakku
masih berbenah di perjalanan.
Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu
membuai jidat yang capai,
dompet yang pilu, dan punggung
yang dicengkeram linu, uwuwuwu...
Semoga lekas lerai.
Semoga lekas sampai.
Jika nanti air mataku terbit di matamu
dan air matamu terbenam di mataku,
maaf selesai dan cinta kembali di mulai.
(2016)
Kata-kata milik Jokpin itu berdenyut-denyut di sepanjang jalan. Dua orang perempuan tanpa alas kaki, di hari gerimis, di antara Jayapura dan Airmadidi mondar-mandir di kepalaku.
Saya siapa? Saya siapa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H