Oh iya, tempat bernama Airmadidi itu terletak di antara Manado yang tumbuh bersama reklamasi, mall, hingga pusat-pusat kesenangan urban dan Bitung sebagai kota pelabuhan yang dipenuhi hilir mudik truk konteiner. Maksud saya, peradaban alas kaki sudah lama dikenal.
Otomatis kepo-lah jiwa sosial saya yang lama terkunci di balik ruang kelas sebuah fakultas.
Tinggal di mana ibu ini? Dengan siapa dia tinggal? Dimanakah anak-anaknya? Bikin apa dia di tempat begini? Kamu siapa, kamu siapa?
Saya terus cemas. Jangan-jangan gadis yang menjaga mesin kasir bakal tak ramah. Mungkin merasa risih. Kalau ibu ini bener-bener kurang sehat, saya akan membayar barang yang diambilnya.Â
Sumpah, gengs. Saya bukan jenis yang berjiwa sosial tinggi, mudah haru, sentimental dan seketika melibatkan diri dalam penderitaan sesama. Apalagi mendadak tercerahkan karena meresapi kalimat AKHLAK dan wajah si menteri di layar ATM bank Mandiri--apa-apaan pula ini?!
Alasanya sederhana saja. Hari terlalu pagi menjadi saksi sendu dari seorang ibu lusuh tanpa alas kaki. Ah, mainnya perasaan lagi nih. Barusan bilang tak mudah haru, huhu.Â
"Berapa ini?"
Lhoo, si ibu membeli barang?Â
Agak bergeser, di atas meja, saya lihat sebungkus gula sekiloan. Si gadis menjawab harganya yang tertulis di layar kecil dan menghadap ke kami berdua. Si ibu yang saya sangka kurang sehat mengeluarkan selembar duapuluh ribuan.Â
Beliau lalu keluar. Saya masih bengong. Beginilah kalau kamu yang konon terpelajar itu...Duh, gustiii.Â
Sesudah membayar keperluannya Mahardika, saya bergegas cabut. Ke parkiran, menyalakan mesin X-Ride dan berlalu. Ingin ngakak sama diri sendiri tapi gak etislah. Nanti malah dicurigai sayalah yang sesungguhnya kurang sehat.Â