Kawan, kadang-kadang kamu mesti jaim justru karena jauh dari ganteng!Â
Ketika hendak melaju, si ibu tadi berlalu di depan tatapan saya. Tak ambil pusing. Tak merasa sejak di dalam, saya telah menyusun macam-macam pertanyaan di kepala soal siapa dirinya. Eh, bentar. Apa itu di bawah sana?Â
Wahaai. Ibu ini memakai sendal dan membawa belanjaan. Hari Selasa memang hari pasar di Airmadidi. Ada seorang pria mengajaknya bicara, mungkin keluarganya. Akrab. Mungkin juga tukang ojek pangkalan yang dikenalnya.Â
Apakah karena lantainya dari tehel putih makanya si ibu melepas sendalnya di depan pintu?
Saya terus ingat di tahun 2000-an. Di depan sebuah ATM, di sekitar lingkaran Abe, Jayapura. Harinya gerimis juga. Saya sedang menunggu bapak. Lantas melintas seorang perempuan yang juga masuk ke ATM tanpa alas kaki.Â
Walau kakinya telanjang dan menenteng tas noken di kepala, dia terlihat terbiasa menarik duit dari mesin. Tak ada kecanggungan. Apalagi sampe pake nanya-nanya dulu.Â
Memang tak ada kausalitas antara pakai/tak pakai alas kaki dengan kebiasaan pakai kartu ATM sih. Mestinya saya gak usah kaget-kaget juga. Terpelajar kok kepalanya...nganu...
X-Ride sudah nyala. Saya melaju pelan-pelan. Pulang. Saya terus terkenang sebaris puisi. Judulnya Pulang juga.
Rinduku yang penuh
pecah di atas jalanan macet
sebelum aku tiba di ambang ambungmu.
Kegembiraanku sudah mudik duluan,
aku menyusul kemudian.
Judul sajakku sudah pulang duluan,
baris-baris sajakku
masih berbenah di perjalanan.
Bau sambal dan ikan asin dari dapurmu
membuai jidat yang capai,
dompet yang pilu, dan punggung
yang dicengkeram linu, uwuwuwu...