"Bagaimana jika kau saja yang bertanya kepadaku?" tanya U.Â
Wahai kerinduan yang telah berubah hukuman, apakah setiap kejatuhan harus diabadikan dengan perempuan?Â
Cinta U tidak pernah menerima sambut yang sama. Perempuan itu hanya pernah curiga U sedang suka padanya. U justru menerima serangan protes karena telah menggunakan barang publik untuk kepentingan pribadinya. Sudah memendam cinta, ditertawakan kumpulannya pula. Semua orang selalu mengenang insiden pia itu.
Namun U adalah biografi anak desa yang penuh warna. Yang harus dimengerti dengan masuk kedalamnya.
Pernah suatu waktu, U ingin merasakan bagaimana menjadi orang-orang yang pergi ke mall, berjam-jam di dalamnya tanpa membeli apa-apa. Orang-orang itu juga pergi dengan gaya terbaik yang ingin mereka tampilkan. Mereka seperti butuh diperhatikan, mungkin juga dibicarakan. Atau, mungkin, tidak lagi punya tempat untuk mengheningkan diri.
Dan U pergi, dengan pikiran yang berdegup. Gugup.Â
Mengikuti pasangan muda yang meriah dan serupa baru berbalas cinta, U menaiki tangga dan sebentar saja hilang di dalam pengunjung ramai. Berputar-putar, mendaki eskalator, berpindah outlet, memandang sana sini, U akhirnya berhenti. Mendadak disergap perasaan asing. Sesal mengejar dari segala arah. Seperti kutukan yang melarang jenis manusia tertentu mendatangi tempat tertentu!
U merasa mual. Tapi tak bisa kemana-mana. Lupa bagaimana caranya keluar, caranya pulang ke kawanan yang dengan sukarela penuh gembira menertawakan sebaris judul "Kisah U Tersesat di Mall!"
"Bagaimana bisa kau tahu masuk jika tak menemukan jalan keluar?" tanyaku, entah karena geli entah merasa aneh.
"Bagaimana bisa kau bertanya tanpa pernah mengerti kesulitan orang kampung di hiruk pikuk kota, sepertiku?" balasan yang membuatku kehilangan alasan mengapa merayakan ulang tahun kemerdekaan negeri. Begitulah U, susah berkata-kata. Sekali bicara, tak ada lawannya.Â
U memang tak pernah luwes dengan kota. Bahkan di desa lahirnya, dimana petak-petak sawah, nafas ternak dan bau keringat tanah menjadi irama harian, dengan jarak tempuh yang tak pernah lebih 60 menit ke kota kabupaten, dia selalu saja tersesat. Padahal kota itu belum lagi dijejali hutan beton, pencakar langit, rumah-rumah kecantikan, pusat-pusat pamer, yang meruwat penghuninya ke sudut keberadaan diri yang paling "atom".Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!