U telah melewati tahun-tahun yang tidak mudah bagi sembarang orang, termasuk aku.Â
Pada suatu waktu, U pernah ingin sekali menyatakan cintanya. Walau terhadap nyalinya sendiri, U membutuhkan keheningan yang tak sedikit, sekadar berbicara dengan sisi dirinya yang sedang tegang, dihisap khawatir sekaligus dimuntahkan penasaran.Â
Jadi dia berusaha tak terburu-buru, yang ternyata jauh lebih sulit dari mengendalikan keringat dingin.
Hari itu, sekardus bingkisan tiba. Bulan sedang tua dan semua jiwa di kosan yang lengang meyakini pertolongan dari rumah bukan saja sejenis rahasia, namun juga adalah bentuk dari rindu yang keras kepala.Â
Sebungkus pia Saronde ada di antara bingkisan yang harus dijemput di terminal antar kota. Membayangkan sore yang tenang dari teras rumah panggung yang menghadap jalan sebagai latar dari percakapan-percakapan adalah kerutinan yang asyik.
Tapi, pia berasa keju itu hanya mampir sebagai kabar. Wujudnya telah raib. U membawanya kepada seseorang yang telah memaksanya menabung keringat dingin lebih banyak dari biasanya.Â
Tak ada yang tahu hingga, tampaknya perkara ini juga dilewatkan U, bahwa menyatakan cinta yang berbisik-bisik melewati udara malam, adalah kesulitan berikut sesudah jangan terburu-buru dan kendalikan keringat dinginmu!
Maka kisah pia Saronde itu seketika berubah arahnya. Dari romantisme yang lugu menjadi kekonyolan yang riuh.Â
Perempuannya berkata begini, "Kau telah datang kepadaku, membawa nyali juga kebaikan yang kau sembunyikan dari teman-temanmu. Bicaralah jika ada yang mesti kau sampaikan."
Lidah U terlanjur kaku, sedikit mencuri-curi tatap saja bahkan tak kuasa. Kata-kata seolah racun, mencekik tenggorokan. Mati rasa, mati gaya. Wajahnya mungkin biru di teras kamar yang sempit dan berderet itu.Â
"Bagaimana jika kau saja yang bertanya kepadaku?" tanya U.Â
Wahai kerinduan yang telah berubah hukuman, apakah setiap kejatuhan harus diabadikan dengan perempuan?Â
Cinta U tidak pernah menerima sambut yang sama. Perempuan itu hanya pernah curiga U sedang suka padanya. U justru menerima serangan protes karena telah menggunakan barang publik untuk kepentingan pribadinya. Sudah memendam cinta, ditertawakan kumpulannya pula. Semua orang selalu mengenang insiden pia itu.
Namun U adalah biografi anak desa yang penuh warna. Yang harus dimengerti dengan masuk kedalamnya.
Pernah suatu waktu, U ingin merasakan bagaimana menjadi orang-orang yang pergi ke mall, berjam-jam di dalamnya tanpa membeli apa-apa. Orang-orang itu juga pergi dengan gaya terbaik yang ingin mereka tampilkan. Mereka seperti butuh diperhatikan, mungkin juga dibicarakan. Atau, mungkin, tidak lagi punya tempat untuk mengheningkan diri.
Dan U pergi, dengan pikiran yang berdegup. Gugup.Â
Mengikuti pasangan muda yang meriah dan serupa baru berbalas cinta, U menaiki tangga dan sebentar saja hilang di dalam pengunjung ramai. Berputar-putar, mendaki eskalator, berpindah outlet, memandang sana sini, U akhirnya berhenti. Mendadak disergap perasaan asing. Sesal mengejar dari segala arah. Seperti kutukan yang melarang jenis manusia tertentu mendatangi tempat tertentu!
U merasa mual. Tapi tak bisa kemana-mana. Lupa bagaimana caranya keluar, caranya pulang ke kawanan yang dengan sukarela penuh gembira menertawakan sebaris judul "Kisah U Tersesat di Mall!"
"Bagaimana bisa kau tahu masuk jika tak menemukan jalan keluar?" tanyaku, entah karena geli entah merasa aneh.
"Bagaimana bisa kau bertanya tanpa pernah mengerti kesulitan orang kampung di hiruk pikuk kota, sepertiku?" balasan yang membuatku kehilangan alasan mengapa merayakan ulang tahun kemerdekaan negeri. Begitulah U, susah berkata-kata. Sekali bicara, tak ada lawannya.Â
U memang tak pernah luwes dengan kota. Bahkan di desa lahirnya, dimana petak-petak sawah, nafas ternak dan bau keringat tanah menjadi irama harian, dengan jarak tempuh yang tak pernah lebih 60 menit ke kota kabupaten, dia selalu saja tersesat. Padahal kota itu belum lagi dijejali hutan beton, pencakar langit, rumah-rumah kecantikan, pusat-pusat pamer, yang meruwat penghuninya ke sudut keberadaan diri yang paling "atom".Â
U adalah biografi yang selalu gagu di depan kemajuan urban, ketika kebanyakan merindukannya.
Lalu pada suatu waktu, di tahun-tahun ketika aku masih sering mengunjungi U itu, sebuah tragedi hampir merampasnya dari kami semua. Kala itu, hari hanya diisi dengan hujan yang deras. Kemudian banjir datang, tak lama berselang. Membawa batang balok, bebatuan ganal, lumpur, dan rasa takut.
Negeri ini telah menggali kuburnya dengan serial bencana. Tapi penduduknya mungkin lebih risau dituduh tak mengenal kemajuan dan pembangunan. Â
Dan U memilih pergi mengantar sedikit bantuan di sebuah pemukiman pesisir yang ambruk. Dengan matic dan helm tipis, U menembus udara dingin sebelum tubuhnya menghantam bodi sebuah truk yang parkir di pinggir jalan tanpa tanda peringatan. U masuk ICU dan aku hanya punya kecemasan yang makin membesar di dalam dada.Â
Sejak kecelakaan itu, U tak lagi bisa dimasuki siapapun.Â
Tidak ada yang bisa berbicara kepadanya, menemui apa yang sedang bekerja di kepalanya. Menjumpai apa yang sedang membuatnya galau, bersedih atau sedang penuh semangat. U seperti sedang bertarung di batas kegilaan. Sebuah pertarungan yang memaksa kami seperti orang-orang kehilangan namun tanpa daya.
Tragedi ini seolah peringatan jika U yang tengah bergulat menyelesaikan hidupnya yang terlalu lama di sebuah fakultas tak pernah menemui perpisahan yang membanggakan. Tragedi ini juga merampas usaha-usaha kecilnya demi menciptakan kemandirian sebelum tiba masa wisuda yang mungkin dengan ijazahnya, dia tak akan punya mimpi yang lain. Kecuali seragam, apel pagi, dan perempuan yang tak dijumpainya karena sebungkus kue pia.Â
Aku kehilangan U. Persisnya, tak siap dengan U yang tak tersentuh oleh kenangan dari masa lalu dimana kawan-kawannya selalu menanti kekonyolan jenis apalagi yang akan diciptakannya. Yang tersisa di matanya hanyalah sorot yang liar.Â
Aku ingat sekali, sebelum hari naas tiba, U pernah bilang begini. "Aku akan membuat lompatan. Kampus seperti rumah yang lama-lama asing. Aku tak menemukan apa-apa di sana, selain tidak mampu melakukan hal lain."
"Lompatan?"
Tak ada penjelasan. Kecuali kami minum terlalu banyak malam itu.
Sebelum kecelakaan itu menjadi pembatas sejarah, U telah mengembalikan dirinya yang agraris. Pelan-pelan, dia menunggangi trend hingga menemukan energi milik leluhur yang tersimpan di balik ramainya migrasi orang desa ke kota-kota yang sumpek.Â
U memulainya dengan menikmati diri sebagai petani bunga hias. U telah kembali mencintai bau tanah.
Inikah lompatan yang dia maksud?Â
Dan kecelakaan sialan itu benar-benar membawa U kembali ke rumahnya. Ke desanya yang tenang di kaki Tilongkabila. Selama berjibaku dengan dirinya yang chaos, U bukan saja merawat bunga. Dia juga mengasuh anak-anak unggas dan membesarkan kambing.Â
Kulitnya lebih hitam dan baunya lebih tanah. Sedang aku masih tak bisa mengakses endapan memori yang merawat kita pada sebuah masa. Hingga pandemi datang, dunia manusia yang tak pernah lelah mengeja kemajuan itu tiba-tiba disuruh berhenti dulu.Â
Ada yang telah lama salah dari cara menjadi manusia dan semua juga tahu tidak pernah bisa membaikinya.
Banyak orang ingin kembali ramah kepada alam. Kembali mencintai tubuhnya dengan makan sehat dan hidup yang bugar. Seperti kecemasan seorang Zizek yang sempat kubaca, pandemi Covid-19 memaksa manusia kini tak bisa main-main dengan tubuhnya. Bukan saja terpisah, manusia seolah kehilangan daulat atas sendiri.Â
Pandemi ini menuntunku menemui U.
Dihantar senja yang selalu membuat petak-petak sawah di kaki Tilongkabila itu serasa rumah yang tenang di tengah dunia yang kacau, U menyambutku dengan senyumnya yang khas.
 Aku memeluknya berkali-kali. "Sehat-sehat, Uti." Sambil merahasiakan haru yang mendesak-desak. Sudah dua dasawarsa aku tak melihatnya secara utuh.
Di samping rumahnya, telah ada empat petak kolam ikan. Di bagian belakang, sebuah kandang berukuran sedang untuk anak-anak ayam berdiri mantap. Sebuah mesin tetas berdiri di sebelahnya. Dan kandang yang lebih besar, beberapa meter dari rumah, 250 ekor bebek sedang diasuh.
U membakar sebatang rokok yang mereknya mengingatkan pada perang dimana mitologi Achilles dinubuatkan. Kami tak banyak bicara lagi seperti dahulu.Â
U telah pulih dari batasnya yang chaos. Aku tak tahu jika U terlahir kembali. Aku juga sangsi jika U masih mengenang percakapan tentang lompatan itu. Â Â
Aku hanya merasa, manakala virus membuka kedok sombong manusia, bukankah U sudah duluan ada di sana, sudah kembali ramah kepada tanah? Sudah duluan membunuh egonya di hadapan hidup bertani yang sederhana?Â
U memang adalah biografi sebuah poros. Dengan riwayat yang tak mudah bagi sembarang orang, terutama aku.
[di antara Kaki Klabat dan Kaki Tilongkabila]
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H