Di semua cerita, Ip Man ditampilkan selalu harus bertarung dengan wakil beladiri Barat untuk membela harga diri bangsa Tiongkok. Dengan kata lain, membayangkan cerita Ip Man tanpa sensitif dengan semangat anti kolonialisme adalah sebuah ketersesatan  yang serius.Â
Atau kita bisa mengatakan jika Wingchun bukan lagi ilmu kungfu yang digunakan untuk kesehatan atau membela diri. Wing Chun telah menjadi "senjata budaya" dalam menentang superioritas Barat dalam konteks kolonialisme. Wing Chun juga telah menjadi alat diplomasi kultural Tiongkok.
Kedua, dalam potret domestik, Ip Man adalah contoh family man.Â
Ia bukan saja lembut atau patuh kepada istrinya, sikap yang membuat dicemooh sebagai bagian dari ISTI. Lebih dari itu, kepada istrinya yang anggun, manis dan tabah ini adalah pusat kasih sayang di mana keberanian dan perlawanannya terhadap kolonialisme dibentuk, mengatasi pasang surut hingga menjumpai menyusul mati karena serangan kanker.Â
Dalam ruang yang sama, kita boleh melihat Ip Man dan istrinya juga adalah ideal kisah cinta yang tidak hancur dimakan krisis.Â
Entah karena kesulitan hidup zaman penjajahan atau karena Ip Man mendua hati. Mereka dilukiskan pernah kaya dan terpuruk miskin. Termasuk hidup berpindah-pindah. Sedang Ip Man hanyalah seorang guru beladiri dengan murid yang segelintir.Â
Cinta sehidup semati membuat penderitaan zaman penjajahan hanyalah oksigen kemesraan.Â
Mungkin, di romantisme ini, kisah paling menyentuh adalah ketika Ip Man memilih membahagiakan hari-hari terakhir istrinya yang duluan divonis kanker di Ip Man 3.Â
Pada sekuel di mana Mike Tyson juga ikut bermain ini, Ip Man membuktikan diri sebagai grandmaster sesungguhnya dari Wing Chun. Ia menang karena sikap rendah hati di hadapan pelakon Wing Chun yang mudah silau dengan nama besar dan pengaruh.
Ip Man menegaskan kehebatannya sembari ditunggui istri tercinta yang sedang melawan rasa sakit.
Ketiga, dari sudut pandang non-Ip Man atau non-Tiongkok, antagonisme yang dipelihara adalah kehadiran dari Barat yang lupa diri.Â