"When you watch my films, you're feeling my heart." - Donnie Yen
Saya melepas Desember terakhir di 2019 dengan pergi melihat Ip Man 4: The Finale di bioskop XXI, Manado Town Square 3. Tak cukup dengan ini, pada hari pertama tahun 2020, saya masih pergi lagi menikmati film yang sama.Â
Ini seri penutup dan sang pemeran utama mengatakan jika Ip Man 4 adalah seri terakhir dari peran dalam film bergenre kungfu yang dia mainkan.Â
Dia juga mengatakan jika, "Ini adalah makna hidup, jadi saya bersyukur Ip Man 4: The Finale adalah film kung fu terakhir saya. Saya harap ini bisa ditulis di sejarah film China yang berharga dan saya akan melanjutkan perjalanan sebagai aktor." Sebagaimana dirilis Kompas.com.Â
Jadi, kita boleh menyimpulkan jika arti "The Finale" pada Ip Man 4 bukan semata cerita terakhir dari sang Grandmaster Wingchun. Ini juga akhir dari film-film kungfu Donnie Yen (??)Â
Lelaki yang terlahir dari ibu yang juga seorang grandmaster Tai Chi ini ingin membentuk imej baru dari seni peran yang dimainkannya.Â
Kita tahu, Donnie Yen telah bermain film kungfu sejak tahun 1984. Bapak tiga anak yang pernah peraih medali emas dalam kompetisi Wushu ini memainkan peran utama sebagai Cheng do dalam Drunken Tai Chi.Â
Kerja samanya dengan Jet Li dalam Hero (2002) yang disutradarai Zhang Yimou bahkan sukses menjadi nominasi Best Foreign Language Film pada perhelatan Academy Awards tahun 2003. Film ini juga menjadi film berbahasa China pertama yang bertengger di puncak box office Amerika selama dua pekan berturut-turut.Â
Tapi karir Donnie Yen bukan cuma tentang seorang ahli bela diri dalam film.Â
Ia juga dicatat sebagai salah satu koreografer yang handal. Dan terhitung 2020, ia ingin menciptakan karya dari seni perannya yang tidak identik dengan yang sudah dicapainya sejauh ini.Â
Apakah ia akan berhasil-dan itu sama mengatakan para penikmat film kungfu Mandarin akan kehilangan salah satu pelakon terbaiknya selain Jet Li dan Jackie Chan di era sesudah Bruce Lee?
Saya tidak paham. Donnie memang sudah waktunya keluar dari kesuksesan Ip Man.Â
Sebaliknya, dalam versi yang terbatas, saya hanya ingin menunjukkan jika pada Ip Man 4 yang mendapat rating 7,5 di situs Internet Movie Database ada sesuatu yang sejatinya pergi karena sesuatu yang berusaha dipertahankan.Â
Ada keseimbangan naratif yang tidak cukup terjaga intensitasnya walau sebenarnya sukses menyedot penonton dalam semesta emosi yang hiks, hiks.Â
Begini persisnya.Â
Nothing is more important than being around you loved ones - Ip Man 3
Untuk memahami narasi Ip Man, tentu saja kita harus melihat ini dalam rangkaian yang utuh. Melihatnya dalam kaitan dengan tiga seri sebelumnya di mana biografi Ip Man direkonstruksi. Dari penglihatan "interteks" begini, ada tiga nilai inti yang menurut saya penting dijadikan pegangan.
Pertama, Ip Man telah dilukiskan sebagai masa muda dengan kesadaran nasionalistik yang kuat selain seorang terpelajar.Â
Makna terpelajar menjelaskan kesadarannnya yang serupa Minke dalam tetralogi Pulau Buru Mbah Pramoedya: kesadaran non-Barat yang mengikuti pencapaian humanisme dan menentang habis praktik penjajahan Barat.Â
Atmosfir nasionalistik nan kosmopolit ini terus ditonjolkan, bahkan merupakan inti dari konflik.Â
Di semua cerita, Ip Man ditampilkan selalu harus bertarung dengan wakil beladiri Barat untuk membela harga diri bangsa Tiongkok. Dengan kata lain, membayangkan cerita Ip Man tanpa sensitif dengan semangat anti kolonialisme adalah sebuah ketersesatan  yang serius.Â
Atau kita bisa mengatakan jika Wingchun bukan lagi ilmu kungfu yang digunakan untuk kesehatan atau membela diri. Wing Chun telah menjadi "senjata budaya" dalam menentang superioritas Barat dalam konteks kolonialisme. Wing Chun juga telah menjadi alat diplomasi kultural Tiongkok.
Kedua, dalam potret domestik, Ip Man adalah contoh family man.Â
Ia bukan saja lembut atau patuh kepada istrinya, sikap yang membuat dicemooh sebagai bagian dari ISTI. Lebih dari itu, kepada istrinya yang anggun, manis dan tabah ini adalah pusat kasih sayang di mana keberanian dan perlawanannya terhadap kolonialisme dibentuk, mengatasi pasang surut hingga menjumpai menyusul mati karena serangan kanker.Â
Dalam ruang yang sama, kita boleh melihat Ip Man dan istrinya juga adalah ideal kisah cinta yang tidak hancur dimakan krisis.Â
Entah karena kesulitan hidup zaman penjajahan atau karena Ip Man mendua hati. Mereka dilukiskan pernah kaya dan terpuruk miskin. Termasuk hidup berpindah-pindah. Sedang Ip Man hanyalah seorang guru beladiri dengan murid yang segelintir.Â
Cinta sehidup semati membuat penderitaan zaman penjajahan hanyalah oksigen kemesraan.Â
Mungkin, di romantisme ini, kisah paling menyentuh adalah ketika Ip Man memilih membahagiakan hari-hari terakhir istrinya yang duluan divonis kanker di Ip Man 3.Â
Pada sekuel di mana Mike Tyson juga ikut bermain ini, Ip Man membuktikan diri sebagai grandmaster sesungguhnya dari Wing Chun. Ia menang karena sikap rendah hati di hadapan pelakon Wing Chun yang mudah silau dengan nama besar dan pengaruh.
Ip Man menegaskan kehebatannya sembari ditunggui istri tercinta yang sedang melawan rasa sakit.
Ketiga, dari sudut pandang non-Ip Man atau non-Tiongkok, antagonisme yang dipelihara adalah kehadiran dari Barat yang lupa diri.Â
Barat dengan klaim-klaim superioritas yang kasar lagi pongah. Berkarakter meledak-ledak dan menderita pembengkakan penglihatan kepada eksistensi sang liyan.Â
Barat Putih dan cacat seperti ini terlihat sepanjang narasi Ip Man direkonstruksi. Dan terlihat lebih vulgar dalam The Finale ini.
Pada sekuel terakhir yang berdurasi 105 menit ini, serangan-serangan politik terhadap White Supremacy Politics ditunjukan secara terbuka dengan mengambil konteks kunjungan Ip Man ke Amerika. Salah satu yang cukup menohok adalah kritik imigran Tiongkok yang leluhurnya terlibat dalam pembuatan rel kereta api. Rel yang menyambungkan pusat-pusat pertambangan dan pada akhirnya menentukan kekayaan.Â
Tapi kontribusi historis-kultural ini bukan saja dilupakan dalam sejarah pembentukan bangsa. Amerikanisme yang Putih terlihat seperti kehendak yang dekaden. Saat bersamaan, The Finale menunjukan solidaritas "kulit berwarna" dalam menentang supremasi yang sakit jiwa ini.Â
Singkat kata, Ip Man 4: The Finale adalah kritik historis yang faktual terhadap Amerikanisme atau Barat yang mendadak paranoid dengan imigran.Â
Karena itu juga, boikot demonstran Hongkong yang menyebut para pegiat Ip Man 4 sebagai "kolaborator" dari kepentingan Beijing sebagaimana tertera di laman The Hollywood Reporter bisa sangat dimengerti. Tentu jika kita membenarkan dan bersetuju dengan protes mereka yang telah berlangsung berbulan-bulan.Â
Sebab pada Ip Man yang menjadi seri penutup ini, kritik politik terhadap amnesia sejarah dari White Supremacy  Politics mungkin juga perlu dibaca sebagai persoalan (nasionalisme) Tiongkok terhadap Hongkong.
Lantas, dari tiga inti nilai (: antikolonialisme nan kosmopolit, citra "family man" dan pasangan romantis serta kritik terhadap superioritas Barat) yang mengikat narasi biopik tentang hidup Ip Man, apa yang sejatinya berakhir?
Satu segi yang berakhir itu adalah karena Ip Man sebenarnya telah menanggung kerapuhan yang serius sejak harus hidup sendiri. Sebagai lelaki dan sebagai ayah, ia tidak lagi memiliki penyeimbang; tidak memiliki pusat yang memberinya ketenangan dan memelihara keyakinan diri.Â
Hal mana tampak dari pertengkaran dirinya dengan Ip Chun, anak lelakinya. Ia bahkan sampai menampar, sesuatu yang dari keseluruhan seri seperti bukan Ip Man yang lembut dan hangat.Â
Ip Man tampak egois dan menderita BAPAKISME: segala hanya benar dalam ijin bapak-suami-lelaki kepala keluarga-pencari nafkah-penjaga martabat-bla-bla!
Keseimbangan domestik ini berakhir seiring meninggalnya Cheung Wing-sing.Â
Sisanya, narasi Ip Man di seri penutupnya ini hanyalah pengulangan lakon yang sama walau dikontekstualisasi dengan kritik terhadap dekadensi. Sebuah kontinyuitas yang tak retak. Sebuah penegasan yang tak  memiliki cacat.
Ip Man yang mulai berambut putih tetap melawan klaim superioritas Barat (yang menggunakan karate) dalam pertempuran tangan kosong. Wing Chun tetap bertindak sebagai seni bertarung yang efektif, luwes dan indah. Seperti teknik memukul bertubi-tubi layaknya jurus seribu kepalan.Â
Juga teknik menotok mematikan yang membuat Barton Geddes terkapar mengenaskan. Termasuk teknik bertahan dalam jarak rapat.
Bagaimana dengan kehadiran Bruce Lee?Â
Walau telah ditampilkan sebagai agen baru dari diplomasi budaya Tiongkok di Amerika, Bruce Lee hanya sebuah latar.Â
Bruce Lee memang memberikan penegasan akan visi kosmopolit Ip Man, misalnya dengan mengirimkan buku karangannya tentang seni beladiri Tiongkok dan kehendak untuk menginternasioanlisasikannya. Ip Man salut dan mendukung usaha ini-sikap yang ditentang sejawatnya para master kungfu yang malah menjadi konservatif dan defensif di tanah Paman Sam.
Sayangnya, Bruce adalah sebuah nama besar yang membutuhkan pelukisan biopik tersendiri.
So, apa yang bisa dikatakan sebagai pamungkas dari Ip Man 4: The Finale?
"Use your martial skill for the good of humanity". Ini kata-kata mendiang Ip Man, bukan Donnie Yen.
Tabik!
***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H