Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Piala Super Italia, Sarriball, dan Konsekuensi Transisi

23 Desember 2019   10:42 Diperbarui: 24 Desember 2019   02:14 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pemain Lazio merayakan gol ke gawang Juventus dalam laga Piala Super Italia 2019, Minggu (22/12/2019).(GIUSEPPE CACACE/AFP) via Kompas.com

"After Ajax there was Sacchi's Milan, then Guardiola, who rather sent football to sleep. Fortunately now we've got Sarri, who can wake football up again." - Fabio Capello

Lazio-nya Simone Inzaghi harus diberi penghormatan yang tinggi. Dalam dua pertemuan beruntun, taktiknya sukses besar menghancurkan SarriballDengan skor akhir yang sama telak, 3:1. 

Leo Bonnucci, dkk dibikinnya selevel tim dengan cara bermain yang cuma bisa memenangkan peringkat di statistik! Atau jika kekalahan ini ingin dimengerti dari sejarah karir Maurizio Sarri, maka gaya Lazio menegaskan jika Italia bukan kultur yang mudah bagi sepakbola menyerangnya. 

Lazio Juara Piala Super Italia | AFP via inews.id
Lazio Juara Piala Super Italia | AFP via inews.id
Di King Saud University Stadium, dengan pakem 4-3-1-2, Juventus terlihat sekali kesulitan membongkat mekanisme kerja gerendel. Jarak antar pemain Lazio begitu rapat dan tertib. Tidak boleh ada ruang yang terlalu luas bagi. 

Walhasil: kinerja Pjanic yang menjadi konduktor di lapangan tengah tidak cukup greget. Manuver Dybala yang sesekali menciptakan kejutan tidak cukup memberi efek. Dan kontribusi CR7 sebagai pemain paling sering melepas shots per Game di Serie A terkesan agak mandeg. 

Sebaliknya, ketika terbebas dari kepungan ball possession, skenario serangan balik Ciro Immobile, dkk yang menyasar lubang di pertahanan bekerja lebih maknyus

Taktik yang Italia banget ini beberapa membuat Bonucci kalah sprint dan keteteran. Demiral, yang sementara menjadi alternatif dari inkonsistensi de Ligt pun terlihat kerepotan. 

Situasi lini belakang yang kocar-kacir jelas saja tidak berdiri sendiri. 

Terlihat sekali, ketika serangan balik itu dimulai, lini tengah Juventus juga kelabakan membangun barikade. Seperti tidak mengerti bagaimana membangun antitesanya! Ini yang saya perhatikan dari depan layar kaca sebelum terlelap di permulaan babak kedua tanpa sempat mengenang wajahmu!

Saya terus ingat, dalam banyak situasi dimana Juventus bermain payah-datar-hambar, sepertinya belum ada formula yang handal ketika kita bertanya bagaimana bertahan dengan benar secara Sarriball di Italia? 

Jadi, dengan intensi keresahan yang sama, kita juga akan bertanya tidakkah ini problem dalam sistem bermain ala Sarri: menyerangnya kurang mengerikan, bertahannya malah kelabakan? Duh, mantan! 

Dus, ini bukan semata problem adaptasi seorang de Ligt (orang baru di kultur Serie A) atau Demiral (yang sudah lebih dulu bermain untuk Sassuolo)? Termasuk, yang paling tampak adalah kelenturan transisi dalam bertahan dan menyerang?.

Apalagi jika memilih lebih agresif dengan skema tridente Ronaldo-Dybala-Higuain(?)

Maurizio Sarri memang bilang, lupakan itu kekalahan. Masih ada lima bulan untuk dilalui dan banyak pertandingan yang akan dimainkan. Pjanic juga bilang, masih ada target-target lain yang harus dicapai seperti juara Serie A, Champions League dan Coppa Italia. 

Jadi, nasib masih panjang, larut bersedih untuk apa? 


Konsekuensi Transisi: Adaptasi Sistem dan Waktu untuk "Menjadi"
Karakteristik Nyonya Tua di era Sarriball yang mengedur adalah melihat Juventus keteteran kala bertahan. Sebagai generasi pemuja angkatan Vialli-Ravanelili-Baggio hingga Delpiero-Inzaghi-Zidane, selalu ada bek-bek tangguh di depan gawang yang menjaga baris belakang. Selain gawang yang memang tangguh-tangguh sampai zaman Allegri. 

Masalahnya, kisah perihal karakteristik yang mengendur hanya memicu nostalgia  yang lama-lama menjadi penyakit. Sebab itu, kita perlu mendiskusikan dua hal mendasar dari situasi yang (mungkin) sedang berjalan di Juventus. Tentulah dari kaca mata awam seorang Juventini.

Pertama, masa lalu gemilang mudah memelihara pikiran bukan saja hidup di masa lalu. Namun juga ketakutan pada perubahan dan resiko-resikonya. 

Saya terus ingat penilaian Mahaguru Marcello Lippi tentang alasan di balik sukses Allegri. Ketika datang untuk menggantikan Conte, ia dicemooh suporter. Tambah lagi, ia mantan pelatih AC Milan. Pesimisme seketika merebak dimana-mana.

Sesudah Allegri membantah semua pesimisme fans dan menunjukan levelnya, Mister Lippi  bilang begini , "Anda bisa melihat kecerdasan Allegri. 

Dia masuk secara cermat dalam sebuah lingkungan dimana gaya sepakbola tertentu dimainkan, tanpa menggoyang kestabilan tim. Lalu, dengan ide-ide yang sedikit berbeda, pelan-pelan ia memberikan identitasnya sendiri ke dalam tim." 

Mister Sarri, sepertinya berbeda. 

Ia terlihat ingin segera memberi identitas baru pada warisan Allegri yang telah memberi 4 scudetto beruntun, dua final Champions League yang gagal dan dua kali juara Supercopa Italia (2015 dan 2018). Sarri ingin Juventus bebas dari "cangkang lama", menempuh cara paling efektif dari adaptasi terhadap filosofi dan style-nya. 

Tidak mudah, jelas saja. 

Terlebih seperti amatir yang hanya pernah bermain untuk pertandingan antar kelas selama SMP-SMA dan membaca ulasan-ulasan sepakbola dari zaman koran Bola sama koran daring, yang rumit dari melupakan masa lalu justru ketika masa depan dipenuhi ketidakpastian dan kecemasan-yaiya kaliii! Huhuhu.

Maksud saya, tidakkah semua ini harga dari pilihan perubahan itu? Selalu saja ada tekanan dimana  koreksi-koreksi terhadap sistem yang sedang memenuhi citra diri yang dikehendakinya di masa depan adalah pertanda dari sedang menjadinya sebuah kehendak berubah? 

Pertanyaannya, pada situasi apa tekanan atau koreksi dari proses menjadi itu diberikan toleransinya? Ini pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh bos-bos Juventus dan Sarri sendiri. Fans urusannya bikin artikel sok tahu saja!

Yang dicemaskan Juventini seperti saya dan terjadi kepada Don Carlo Ancelotti baru-baru ini adalah, jangan sampai apa yang pernah diperingatkan Ruud Gullit kembali menjadi pilihan penguasa klub. 

Hal mana disebabkan ketidaksabaran menghadapi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan atau ketidakberubahan

Legenda Milan dan Timnas Belanda itu pernah bilang, buat apa bermain indah tapi tidak juara? Untuk apa menghibur kalau piala dibawa pulang rival? Untuk apa berkali-kali merasa gagah kalau hanya kepada masa lalu sendiri? 

Eh, gimana-gimana?🤦‍♀️

Peringatan seperti ini sekilas terbaca sebagai pragmatisme yang kebangetan. Sementara nama besar diukur dari kumpulan trofi. Sedang hidup tidak berjalan ke belakang, kekasih. Lha, terus?

Pada pragmatisme seperti ini, kita jadi harus menggarisbawahi pesan Sarri tentang gaya sepakbola yang dimainkannya:

"My football is both application and fun. And if you are having fun, it is less tiring." 

Kedua, menyediakan waktu untuk "Menjadi".

Karena itu juga, para bos di Juventus sebaiknya memberi "waktu menjadi" yang lebih lama pada filosofi menyerang atau memberi kesempatan untuk kegagalan alias tahun-tahun tidak mendapat trofi bergengsi. 

Untuk konteks ini, sepakbola kekinian memiliki contoh pada Gegenpresing, Jurgen Klopp dan cerita sukses Liverpool. Musim pertama yang adaptif tidak menghasilkan gelar. Liverpool finis di posisi delapan. Sesudah melewati fase ini, Klopp kemudian membuktikan levelnya. 

Juara Champions League dan kemungkinan yang sedang berjalan ini: JUARA LIGA INGGRIS. Kenanglah jika Klopp baru melatih tiga klub selama karirnya yang dimulai sejak 2001! 

Dunia tahu, bukan cuma aku dan kamu, jika kerja gemilang ini karena Klopp ditopang oleh kepercayaan yang utuh. Ia diberikan kontrak panjang dan kebijakan transfer pemain yang sesuai filosofinya. Dukungan seperti ini membuat Liverpool kembali ke jalur elite Eropa. 

Saya sangka, La Vecchia Signora akan menempuh jalur yang sama. Memberi kesempatan pada adaptasi dan waktu untuk menjadi. 

Sarri, yang tidak memiliki latar pemain sepakbola profesional, memang memiliki sejarah sebagai Spesialis Runner up selama menukangi Napoli-yang dalam 26 tahun tak pernah di peringkat dua. 

Setahun di Chelsea yang bosnya gak sabaran itu, ia bisa memberikan gelar juara pertama dalam karirnya: Juara Liga Eropa 2018. 

Dibanding Conte dan Allegri yang superior di dalam negeri, Sarri lebih baik di level ini walaupun sebatas juara liga klub kelas dua. 

Sebab itu juga, kita boleh curiga jika Sarri mungkin bukan pilihan paling atas dari target pelatih yang diberi mandat melewati periode awal transisi. 

Selain itu, pemberitaan media massa yang berkembang selama masa transfernya ke Juventus lebih sering menyoroti kemungkinan Pep Guardiola yang mengambilalih masa transisi.  Kalau bukan Pep, maka Klopp atau Pochettino. Tapi lelaki mantan bankir ini, bagaimanapun, adalah seorang Italia dengan ide-ide segar yang perlu diuji. Seperti kata-kata Don Capello pada pembuka di atas.

Bersamaan ini, rasanya Serie A membutuhkan wakil yang kembali memainkan sepakbola menyerang untuk mencapai level tertinggi elite Eropa.

So, dengan segala rupa keamatiran pikiran dan pengamatan ini, mari berikan waktu untuk menjadi itu kepada Sarriball.  Kepada filosofi, mimpi dan cerita-cerita. 

Kepada sepakbola yang menyenangkan di tengah kompetisi yang menjadikan piala sebagai berhala pencapaiannya.

*** 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun