Peringatan seperti ini sekilas terbaca sebagai pragmatisme yang kebangetan. Sementara nama besar diukur dari kumpulan trofi. Sedang hidup tidak berjalan ke belakang, kekasih. Lha, terus?
Pada pragmatisme seperti ini, kita jadi harus menggarisbawahi pesan Sarri tentang gaya sepakbola yang dimainkannya:
"My football is both application and fun. And if you are having fun, it is less tiring."Â
Kedua, menyediakan waktu untuk "Menjadi".
Karena itu juga, para bos di Juventus sebaiknya memberi "waktu menjadi" yang lebih lama pada filosofi menyerang atau memberi kesempatan untuk kegagalan alias tahun-tahun tidak mendapat trofi bergengsi.Â
Untuk konteks ini, sepakbola kekinian memiliki contoh pada Gegenpresing, Jurgen Klopp dan cerita sukses Liverpool. Musim pertama yang adaptif tidak menghasilkan gelar. Liverpool finis di posisi delapan. Sesudah melewati fase ini, Klopp kemudian membuktikan levelnya.Â
Juara Champions League dan kemungkinan yang sedang berjalan ini: JUARA LIGA INGGRIS. Kenanglah jika Klopp baru melatih tiga klub selama karirnya yang dimulai sejak 2001!Â
Dunia tahu, bukan cuma aku dan kamu, jika kerja gemilang ini karena Klopp ditopang oleh kepercayaan yang utuh. Ia diberikan kontrak panjang dan kebijakan transfer pemain yang sesuai filosofinya. Dukungan seperti ini membuat Liverpool kembali ke jalur elite Eropa.Â
Saya sangka, La Vecchia Signora akan menempuh jalur yang sama. Memberi kesempatan pada adaptasi dan waktu untuk menjadi.Â
Sarri, yang tidak memiliki latar pemain sepakbola profesional, memang memiliki sejarah sebagai Spesialis Runner up selama menukangi Napoli-yang dalam 26 tahun tak pernah di peringkat dua.Â
Setahun di Chelsea yang bosnya gak sabaran itu, ia bisa memberikan gelar juara pertama dalam karirnya: Juara Liga Eropa 2018.Â