Jadi, dengan intensi keresahan yang sama, kita juga akan bertanya tidakkah ini problem dalam sistem bermain ala Sarri: menyerangnya kurang mengerikan, bertahannya malah kelabakan? Duh, mantan!Â
Dus, ini bukan semata problem adaptasi seorang de Ligt (orang baru di kultur Serie A) atau Demiral (yang sudah lebih dulu bermain untuk Sassuolo)? Termasuk, yang paling tampak adalah kelenturan transisi dalam bertahan dan menyerang?.
Apalagi jika memilih lebih agresif dengan skema tridente Ronaldo-Dybala-Higuain(?)
Maurizio Sarri memang bilang, lupakan itu kekalahan. Masih ada lima bulan untuk dilalui dan banyak pertandingan yang akan dimainkan. Pjanic juga bilang, masih ada target-target lain yang harus dicapai seperti juara Serie A, Champions League dan Coppa Italia.Â
Jadi, nasib masih panjang, larut bersedih untuk apa?Â
Konsekuensi Transisi: Adaptasi Sistem dan Waktu untuk "Menjadi"
Karakteristik Nyonya Tua di era Sarriball yang mengedur adalah melihat Juventus keteteran kala bertahan. Sebagai generasi pemuja angkatan Vialli-Ravanelili-Baggio hingga Delpiero-Inzaghi-Zidane, selalu ada bek-bek tangguh di depan gawang yang menjaga baris belakang. Selain gawang yang memang tangguh-tangguh sampai zaman Allegri.Â
Masalahnya, kisah perihal karakteristik yang mengendur hanya memicu nostalgia  yang lama-lama menjadi penyakit. Sebab itu, kita perlu mendiskusikan dua hal mendasar dari situasi yang (mungkin) sedang berjalan di Juventus. Tentulah dari kaca mata awam seorang Juventini.
Pertama, masa lalu gemilang mudah memelihara pikiran bukan saja hidup di masa lalu. Namun juga ketakutan pada perubahan dan resiko-resikonya.Â
Saya terus ingat penilaian Mahaguru Marcello Lippi tentang alasan di balik sukses Allegri. Ketika datang untuk menggantikan Conte, ia dicemooh suporter. Tambah lagi, ia mantan pelatih AC Milan. Pesimisme seketika merebak dimana-mana.
Sesudah Allegri membantah semua pesimisme fans dan menunjukan levelnya, Mister Lippi bilang begini , "Anda bisa melihat kecerdasan Allegri.Â