Seperti juga dunia privat saya, yang berdiri di antara segala yang tak terpahami, terlalu cepat kupelajari dan terlampau lambat dimengerti. Di saya, ia sekaligus rongga yang belum menemukan bahasanya sendiri. Ada perasaan belum pantas untuk membahasakannya. Bahkan terhadap seluruh catatan ini, saya masih sangsi jika telah tepat memahami apa yang dimaksud dengan puisi.
Lantas, apakah kita yang jenis jelata alas kaki tak bisa berbahasa puisi?
Tidak perlu khawatir, bukan semata dikarenakan bunyi tidak pernah memiliki definisi yang ketat dan "otoritatif". Lebih penting dari itu, bunyi dalam puisi adalah semesta pergumulan privat, dunia yang jauh dari bahasa orang ramai, Â bukanlah monopoli para penyair.Â
Kita semua memiliki yang privat, entah dalam wujud kesedihan dan trauma, atau keheningan dari yang bahagia. Atau kesaksian-kesaksian kebertuhanan yang "ditolak bahasa resmi orang beragama". Â Â
Mungkin seperti bayi belajar mengucap ibu dan ayah dengan terbata-bata, kita perlu waspada menjadi orang dewasa yang rutin.Â
***
Sumber bacaan
Fragmen, Sajak-sajak Baru. Goenawan Mohamad. Gramedia: 2016.
(Dimuat ulang di sini untuk kepentingan pengarsipan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H