Bagi jiwa payah seperti saya yang berkali-kali gagal menyusun puisi sebagai bunyi, kata-kata yang disusun Joko Pinurbo adalah kata-kata yang biasa saya temui. Namun ia membuat saya tiba pada pemaknaan yang segar tentang puisi.
Lebih dari itu, ketika puisi 'sebagai mata', ia mungkin hanya bisa saya temui dengan 'perjumpaan berkali-kali air mata': kegagalan-kegagalan saya dalam membuat puisi yang menjadi bunyi.
Atau, ambil misal lagi. Puisi Goenawan Mohamad dalam buku yang sama.
Anak-anak
Di dinding rumah hitam
yang ia ingat 60 tahun kemudian
tertulis empat huruf nama anak
yang tak akan pernah dilahirkan
Sejak langit tak bisa dingin.
Sejak langit tak bisa dingin
di malam hari dilihatnya malaikat penunggang kuda
dengan muka muram menyelamatkan 1000 janin
dari bumi
dari pertanyaan-pertanyaan
tentang bahagia.
(2015)
Apa yang Anda rasakan setelah melumat habis bahasa puisi 'Anak-anak'?
Kalau saya, ada dunia orang-orang dewasa yang mengenaskan. Dunia yang setiap hari berburu kebahagiaan dengan ideal-ideal yang tak jarang justru diteruskan kepada anak-anak. Anak-anak yang lahir tanpa pernah bisa memilih dan dunia orang-orang dewasa yang tak pernah tahu caranya berhenti.
Ini semacam lingkaran setan dari kutukan kebahagiaan yang tidak pernah diakui dalam bahasa sehari-hari, atau mungkin sains tentang kebahagiaan. Ini tafsir subyektif saya.
Lantas apa yang dimaksud puisi adalah bunyi?
Saya belum punya definisi yang dapat menjadi pegangan--atau semestinya tak ada definsi yang bisa dipegang--sebab, bagaimana saya bisa memegang "bunyi'?