Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kitab "Fragmen", Puisi dan Sedikit Catatan

30 Agustus 2018   10:08 Diperbarui: 4 September 2018   14:45 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: CounselingRx

diriku, di antara segala yang tidak kupahami,
terlalu cepat kupelajari dan terlampau lambat
kumengerti. dan kau
(dari bait pertama puisi Sebelum Sendiri, Aan Mansyur)

Pertama-tama, mewakili diri sendiri, saya mengucapkan terima kasih kepada Mbah Peang a.ka Lohmenz Neinjelen.  yang sudah menciptakan guncangan psiko-kognitif--hayaah, bahasamu cuk!--dengan pertanyaan, Apa itu Puisi?

Pertanyaan ini memaksa berjibaku dengan ingatan akan beberapa bacaan juga pesan dari seorang guru tentang puisi. Intinya, dipaksa memeriksa lagi apa yang disebut sebagai puisi dan mengapa ia terbedakan dengan, sebut saja, bahasa sehari-hari, jurnalisme, sains dan filsafat atau teks agama-agama.

Dengan kata lain, hasil pemeriksaan terbatas yang dituliskan kembali di sini sangat terbuka bagi kesalahan-kesalahan subyektif dalam memahami. Itu artinya, terhadap Anda, catatan ini sangat berpotensi menambah kekaburan pengertian tentang apa itu puisi.

Mari kita mulai dengan sedikit permainan ilustrasi sosiologis.

Hampir semua yang hidup akan mengalami rutinisasi. Mengalami aktivitas yang terpola, karena itu berulang, dan karena itu "sudah tetap".

Misalnya saja, kalau Anda seorang petani, maka setiap pagi akan dimulai dengan pergi ke kebun dan mengurus tanah dan tanaman hingga petang menjelang. Jika Anda seorang ASN, maka akan ke kantor dan menyelesaikan setumpuk tugas hingga sore memanggil pulang. Demikian juga jika Anda adalah pedagang atau aparatur militer.

Hari-hari Anda sudah terpola oleh urusan, dimana di dalamnya termuat hak, kewajiban, tata cara, sanksi, dan disiplin. Hidup yang sudah terinstitusionalisasi, kata sosiolog.

Dalam hidup yang seperti ini, ihwal yang sudah terpola bukan saja "berdiri di luar sana". Ia bukan seperti suasana ketika Anda pertama kai mengunjungi kebun binatang, taman bermain, atau ketika sedang berkunjung ke rumah hiburan. Maksud, apa yang tampak berdiri di luar sana, pada sesuatu yang sudah rutin, sejatinya juga telah membentuk kesadaran sehari-hari Anda; sudah menjadi sejenis typifikasi di kepala.

Yang jadi perhatian kita dalam Percakapan tentang Puisi dalam urusan hidup yang terpola alias terutinisasi bukanlah dua aspek di atas, yakni institusionalisasi yang obyektif dan typifikasi yang subyektif.

Akan tetapi hubungan situasional yang memungkinkan apa yang ada di kepala Anda dan yang terinstitusikan itu bisa langgeng dan bertahan. Hubungan dimaksud adalah hubungan yang terang, jelas, tetap dan stabil. Singkatnya, Anda mengetahui persis bagaimana menjalani setiap rangkaian aktifitas dalam pola-pola itu.  Sekali saja "ada yang gelap"--misalnya terjadi perubahan posisi atau tata cara dalam institusi atau, paling ekstrim, Anda dipecat dari ASN--maka yang rutin dari hari-hari akan terguncang.

Yang rutin bisa tiba-tiba menampilkan diri sebagai yang asing.

Pada hubungan yang terang, jelas, stabil dan tetap--kita sebut saja kerangka situasional dari pengertian--ada bahasa yang hidup dalam pengertian bersama. Bahasa yang harus diacu bersama, bahasa yang menjadi "milik orang ramai".

Bahasa itu bukan sebatas susunan kalimat yang menyatukan percakapan orang banyak, sebagaimana bahasa sebagai lingua franca. Namun juga ia hanya mungkin menjadi lingua franca karena makna yang ada di balik system percakapan atau system tulis dari bahasa dimaksud dimengerti bersama.

Misalnya jika Raisa menulis, Aji...%$&#@. Sampai kapan pun, selama tak ada system makna yang diacu untuk menjelaskan symbol-simbol itu, apa yang dimaksud Raisa tidak pernah jelas. Akan berbeda ketika ia mengatakan, "Ji, arti dari lambang-lambang aneh itu adalah gambaran suasan hatiku yang tak pernah bisa mengungkapkan dengan kata-kata tentang sosokmu yang hanya ada dalam 1000 tahun penciptaan lelaki luar biasa!"

Nah, kalau yang kedua, maksudnya jelas tereng benderang, bukan?

Sama halnya, pada contoh sebagai ASN, Anda juga akan mengacu pada system makna yang telah ada bersama agar aktifitas dalam kantor bisa berjalan secara organisatoris. Sekali saja Anda menggunakan bahasa di pasar seperti pedagang kaki lima di pusat kota, akan ada kondisi yang guncang.

Ambil misal lain seperti begini. Anda adalah ASN yang bertugas di loket layanan e-KTP (pernah kan ngurus KTP elektronik wahai pembaca?). Sudah ada prosedur kerja yang menjadi acuan dalam melayani. Namun, entah karena belum terima gaji 13 atau karena kesal dengan gebetan Anda di ruang sebelah yang ternyata sudah pacaran dengan pak Camat, Anda terus berteriak dengan megaphone, "Layanan KTP elektronik. Layanan KTP elektronik, segera dibereskan sebelum dikorupsi!"

Apa yang akan terjadi? Anda jelas tidak gila. Anda hanya melakukan yang tidak diatur oleh prosedur, bahasa layanan atau sistem makna yang sudah diacu bersama.

Apa yang tidak terang dalam bahasa ramai, apa yang tidak eksis dalam yang rutin, yang menolak menjadi baku-terpola, yang tidak atau menolak menjadi milik orang banyak dalam kehadiran bahasa itulah ruang yang dihidupi oleh bahasa puisi.

Tentu saja bahasa puisi bukan sesederhana tindakan berbahasa yang serupa aksi sepihak ASN di atas. Lebih subtil dan rumit, bahasa puisi memberi  ruang untuk menurut pengalaman-pengalaman tersembunyi dari ASN yang lelah dengan dinginnya birokrasi yang efektif dan efisien.  Pengalaman yang mungkin berisi trauma, keterasingan, dan kekalahan manusia di depan sangkar besi birokrasi.

Bagaimanakah bahasa puisi itu persisnya?

Untuk keperluan ini, suka atau tidak, kita harus masuk pada penjelasan yang lebih abstrak dan karena itu, konseptual.

Maksud saya, kita harus melihat puisi atau sastra secara umum sekelompok dengan buah dari pencapaian akal budi manusia, yakni filsafat dan sains. Jika filsafat, sederhananya, berkutat dari aktifitas spekulatif rasio dalam pencaharian kebenaran sedangkan sains berkutat dalam pencaharian kebenaran menurut prosedur metode ilmiah, atau sebut juga bahasa jurnalisme yang berkehendak mencari kebenaran informasi dengan prosedur jurnalistik, maka puisi tidak berdiri dalam kehendak yang sama.

Kehendak itu adalah penggunaan rasio untuk mencari kebenaran dengan permainan kata-kata.

Puisi mencurigai rasio yang membawa pengertian yang sudah tetap dan stabil, seperti dalam sistem makna dalam dunia yang rutin, dalam ideologi dan teks agama-agama. Atau lebih persisnya, puisi tidak berada dalam posisi  sebagai aparatus konseptual yang menampung "idea" sehingga dengan begitu ia bergumul dengan terang kebenaran tertentu.

Secara serempak, dalam sebuah wawancara dengan Nadjwa Shihab, dua begawan puisi Indonesia, mengatakan jika puisi adalah bunyi. Dua Begawan itu adalah Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo. Pertanyaannya adalah bunyi yang seperti apa? Bunyi kata serupa apa yang layak disebut puisi? Apakah serupa susunan rima: a-a-b-b/a-b-a-b dalam kaidah empat baris membentuk bait?

Buku Fragmen, Goenawan Mohamad | BukuKita.com
Buku Fragmen, Goenawan Mohamad | BukuKita.com
Lebih kompleks dari itu, khususnya dalam apa yang disebut puisi modern yang dirintis Chairil Anwar, pengertian puisi adalah bunyi saya temukan dalam buku Fragmen: Sajak-sajak Baru, karya  Goenawan Mohamad.

Saya kutipkan agak panjang di sini:

Menulis merupakan ketegangan antara menemui bahasa dan menemukan bahasa. Ketika kata diterakan dengan huruf, ia menyandang tanda-tanda yang sudah ada dalam khasanah umum. Bahasa yang paling privat pun, seandainya  ada, bergerak di medan orang ramai itu. Bahkan ketika satu kaliman diucapkan secara lisan oleh seorang Robinso Crusoe kepada dirinya sendiri, struktur verbal itu mendapatkan bentuknya karena model yang datang dari orang lain. Di saat itu, seorang Crusoe menemui bahasa, pada saat ia menemukan bahasa.

'Menemukan' bahasa berarti mendapatkan sebuah pengalaman baru dari dalam kata, meskipun kata itu sudah lama beredar. Pengalaman itu baru---mungkin bertaut dengan sugesti atau asosiasi---karena ia belum ada di kancah orang ramai.

Tapi sementara 'menemui' bahasa adalah bergerak pada bahasa yang hidup di permukaan komunikasi , 'menemukan' bahasa berawal dari sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang ibarat kawah di bawah kepundan yang mengeluarkan asap. Kita tahu kata selalu bertaut dengan ingatan, dan himpunan ingatan di kepala saya membentuk kawah itu: dunia privat saya yang sendiri. Ketika saya menulis, mau tidak mau, saya hidup dalam dunia privat bahasa itu---dan dari sana terjadilah impetus untuk 'menemukan bahasa', sebab bahasa di permukaan komunikasi bukanlah bahasa yang selalu memadai dan memuaskan.

...tapi adakah komunikasi segala-galanya? Puisi modern, yang di Indonesia dibuka pintunya oleh Charil Anwar, menjawab 'tidak'. Puisi ini adalah ikhtiar agar dunia privat bisa diungkapkan dan tak punah tertindas oleh bahasa orang ramai. Dunia privat saya adalah nasib saya, dan nasib, kata Chairil, "adalah kesunyian masing-masing'. (hal 58 dan 61)

Dari kutipan di atas, bahasa yang membentuk komunikasi adalah bahasa yang saya ilustrasikan pada dunia yang rutin, dunia sehari-hari yang sudah terpola, terlembagakan. Bahasa yang menjadi milik dari orang ramai, yang berdiri dalam kejelasan dan kestabilan. Berada di wilayah ini maka kita, dalam bahasa Goenawan, sedang menemui bahasa.

Dunia yang rutin sebagaimana ilustrasi di atas, adalah kekuatan yang ikut terlibat--tentu dalam bahasa dan komunikasi--membentuk typifikasi atau 'himpunan ingatan'. Dalam himpunan ingatan itu, melalui proses menulis, ada dunia privat yang oleh bahasa puisi, berusaha tampil dalam pembahasaan yang "tidak terang, tetap dan stabil" seperti dalam bahasa sehari-hari atau bahasa yang dikehendaki oleh filosof dan saintis: berambisi pada pencaharian kebenaran yang terang.

Dalam bahasa puisi, ketika dunia privat hendak membebaskan diri dari bahasa yang rutin, ia bergandeng dengan imajinasi. Imajinasi menjadi kekuatan yang membuat "apa yang tampak telah diterima oleh bahasa yang rutin tadi" memiliki "ceruk atau rongga" yang tak sepenuhnya terang benderang seperti dalam bahasa sains.

Saya contohkan satu puisi yang tak mengenal batasan bait apalagi penggunaan susunan kata yang menghendaki adanya pengertian yang langsung dan jelas. Puisi dari joko Pinurbo.

Kepada Puisi

Kau adalah mata, aku air matamu

(2003)

Apa yang bisa dijelaskan dari puisi di atas?

Bahwa puisi adalah keterjagaan, keawasan, kejelian, kewaspadaan, jendela pengetahuan (dilambangkan mata) yang hidup dari kesedihan (dilambangkan airmata)? Atau, kewaspadaan yang disembuhkan oleh dirinya sendiri (fungsi air mata terhadap mata)?

Tidak ada yang jelas, tidak ada yang secara konseptual sedang mewartakan kebenaran apa pun di sana. Tapi bukan berarti tidak ada makna.

Bagi jiwa payah seperti saya yang berkali-kali gagal menyusun puisi sebagai bunyi, kata-kata yang disusun Joko Pinurbo adalah kata-kata yang biasa saya temui. Namun ia membuat saya tiba pada pemaknaan yang segar tentang puisi.

Lebih dari itu, ketika puisi 'sebagai mata', ia mungkin hanya bisa saya temui dengan 'perjumpaan berkali-kali air mata': kegagalan-kegagalan saya dalam membuat puisi yang menjadi bunyi.

Atau, ambil misal lagi. Puisi Goenawan Mohamad dalam buku yang sama.

Anak-anak

Di dinding rumah hitam
yang ia ingat 60 tahun kemudian
tertulis empat huruf nama anak
yang tak akan pernah dilahirkan
Sejak langit tak bisa dingin.
Sejak langit tak bisa dingin
di malam hari dilihatnya malaikat penunggang kuda
dengan muka muram menyelamatkan 1000 janin
dari bumi
dari pertanyaan-pertanyaan
tentang bahagia.

(2015)

Apa yang Anda rasakan setelah melumat habis bahasa puisi 'Anak-anak'?

Kalau saya, ada dunia orang-orang dewasa yang mengenaskan. Dunia yang setiap hari berburu kebahagiaan dengan ideal-ideal yang tak jarang justru diteruskan kepada anak-anak. Anak-anak yang lahir tanpa pernah bisa memilih dan dunia orang-orang dewasa yang tak pernah tahu caranya berhenti.

Ini semacam lingkaran setan dari kutukan kebahagiaan yang tidak pernah diakui dalam bahasa sehari-hari, atau mungkin sains tentang kebahagiaan. Ini tafsir subyektif saya.

Lantas apa yang dimaksud puisi adalah bunyi?

Saya belum punya definisi yang dapat menjadi pegangan--atau semestinya tak ada definsi yang bisa dipegang--sebab, bagaimana saya bisa memegang "bunyi'?

Seperti juga dunia privat saya, yang berdiri di antara segala yang tak terpahami, terlalu cepat kupelajari dan terlampau lambat dimengerti. Di saya, ia sekaligus rongga yang belum menemukan bahasanya sendiri. Ada perasaan belum pantas untuk membahasakannya. Bahkan terhadap seluruh catatan ini, saya masih sangsi jika telah tepat memahami apa yang dimaksud dengan puisi.

Lantas, apakah kita yang jenis jelata alas kaki tak bisa berbahasa puisi?

Tidak perlu khawatir, bukan semata dikarenakan bunyi tidak pernah memiliki definisi yang ketat dan "otoritatif". Lebih penting dari itu, bunyi dalam puisi adalah semesta pergumulan privat, dunia yang jauh dari bahasa orang ramai,  bukanlah monopoli para penyair. 

Kita semua memiliki yang privat, entah dalam wujud kesedihan dan trauma, atau keheningan dari yang bahagia. Atau kesaksian-kesaksian kebertuhanan yang "ditolak bahasa resmi orang beragama".    

Mungkin seperti bayi belajar mengucap ibu dan ayah dengan terbata-bata, kita perlu waspada menjadi orang dewasa yang rutin. 

***

Sumber bacaan

Fragmen, Sajak-sajak Baru. Goenawan Mohamad. Gramedia: 2016.

(Dimuat ulang di sini untuk kepentingan pengarsipan)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun