"Mengapa kau terus membungkus diri dalam misteri dan kecemasan?"
Jeremi bertanya kepada angin, dingin, dan bulan pucat yang terus samar oleh awan hitam.Â
Tiba-tiba suara mesin Jeep meraung melambung dari sisi kanan. Suara persneling yang diganti terburu-buru terdengar layaknya lengking suara yang sedang melarikan diri dari kejaran bahaya. Motor Jeremi oleng sebentar, terkejut, lantas kembali stabil dan memacu mesin Honda yang memang makin bergairah di landas pacu berbukit.
"Siapa yang membawa Jeep selaju itu tanpa lampu?"
Saat itu juga, langit menumpahkan air yang terus deras yang menambah licin jalan dan menyamarkan gelap. Â Tak ada lagi bulan pucat di atas sana. Bahaya kini tumbuh di sepanjang jalan. Jika tidak Jeep kesetanan itu, maka motor tentara Jerman ini yang akan tergelincir.
Jeremi makin bergairah. Dipacunya gas motor hingga ke batas tertinggi. 500 meter di depan, tikungan besar yang menjadi sumber kecemasan teman-temannya dan pak Mamat, sebentar lagi akan dilewati.
Brrrm.Brrrrmmm. Brrrrrrrrmmmmrrr.100 meter lagi. Tak ada suara mesin meraung selain mesin motornya sendiri. Di depannya, tikungan besar itu akan berkelok-kelok menurun. Hujan lebih pecah dari yang tadi.
"Kemana mereka?"
Jeremi memasang lampu jauh dan menyoroti sekeliling. Hawa dingin makin menggerogoti pangkal lehernya yang terikat lenso dari Rotterdam. Bukan dingin air. Dingin yang ganjil.
"Haaaaaaaa?"
100 meter dari tempatnya berhenti dan mengawasi, persis di tengah jalan, seorang perempuan dengan baju putih penuh darah sedang terbaring dengan rok yang tercabik. Kemaluannya mengeluarkan darah yang mengaliri air hujan dan menciptakan merah yang amis.