Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kutukan "Skyline"

4 Oktober 2017   09:08 Diperbarui: 4 Oktober 2017   09:32 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jeremi memutuskan tetap pergi. Menantang tabu, atau menurutnya, sejenis dongeng ketakutan yang dipelihara orang-orang tua zaman dahulu.

"Wajar saja, saat itu terlalu banyak keterbatasan. Penjelasan yang benar, utamanya. Berjalan di lereng gunung dengan sepanjang langkah ditemani bayangan pepohonan besar akan terlihat seperti rombongan hantu sedang melaksanakan ritus penyerahan tumbal darimu," bantah Jeremi ketika Anton memintanya agar tak terus menggugat tabu dari masa lalu.

"Ini bukan soal keterbatasan nalar, Jer. Ini soal penghar.."

"Sudahlah. Bantah aku dengan argumentasi, bukan kecemasan, Ton."

Percakapan sebelum berangkat itu kini menjadi penyesalan yang sia-sia.

***

Sesaat sesudah Magrib melepaskan tugasnya ke langit malam, Jeremi telah rapi dengan flanel merah maron, jins hitam dan sepatu coklat yang dibelinya dari gerai barang-barang outdoor. Tak lupa, ia mengikat lenso berwarna sama yang baru diberikan Anton, seorang putra Maluku yang memiliki keluarga di Rotterdam, Belanda.

"Seperti koboi yang menantang dingin, kering dan asing di padang-padang pasir Texas," katanya di depan lemari bercermin seketika terkenang film Django sebelum dibongkar Tarantino, "hanya akan pulang sesudah  padang gembala dan ranch didirikan."

Jeremi keluar dari kamarnya yang terletak di bagian paling belakang, bersebelahan dengan ruang makan dan dapur yang selalu sepi. Langkahnya bergegas melintas hingga ke ruang tamu. Menemukan sepi yang sama di depan televisi besar jenis Home Theater.

Tak ada makhluk hidup yang perlu dipamiti.

Di garasi, motor honda jenis GL Pro yang sudah dimodifikasi serupa motor tentara di zaman perang dunia, tampak kinclong. Semua sisi tubuhnya telah dibersihkan pak Mamat sore tadi sesudah pulang dari bengkel.

'Pak Mamaat..kalau ibu nanya, bilang saja saya ke rumah teman. Itu pun kalau ditanya, ya."

"Nak, mau kemana? Tidak bisakah ditunda besok hari saja?"

Jeremi menengok wajah lelaki paruh baya yang telah berada di rumah ini sejak malam pertama ayah dan ibunya, "Pak...sudah bukan zamannya..."

Jeremi tak meneruskan kata-katanya. Ia hanya melihat kembar ketakutan Anton, Leo, Jhon, Hardi, Dhani, Aan---teman-teman yang dipelihara tabu dari masa lalu.

"Nak, setidaknya jangan melewati jalan itu," cemas pak Mamat.

"Saya berangkat Pak. Pintu samping jangan dikunci."

Suara berat GL Pro melaju sedang, menyusuri jalanan perumahan, lalu tiba di jalan besar yang lengang. Gerimis baru saja menepi, pantulan cahaya lampu kuning membentuk kristal-kristal yang menari di kulit aspal.

Dari balik kacamata berlensa lebar dari plastik, Jeremi menatap langit dengan bulan yang disembunyikan rombongan awan hitam. Langit dengan bulan pucat yang kelam.

Sekejap tiba di pertigaan kompleks Brigade Mobil, belok ke kiri, Jeremi memacu laju motornya meninggalkan Kotaraja, menyusuri lengang dengan pantulan kristal kuning di kulit aspal. Seolah prajurit Jerman yang bertugas mengantarkan surat rahasia, ia melaju menuju jalan yang lebih gelap dengan bebukitan penuh pepohonan besar sedangkan teluk Yotefa terlihat seperti  lubang hitam besar bawah sana.

Malam yang ditabukan. Ketakutan warga melahirkan sepi dimana-mana. Hanya Jeremi yang memberanikan diri untuk sesuatu yang tak jelas demi apa.

Sebenarnya suasana sepanjang jalan ini sangat bagus untuk melepaskan kebosanan. Medannya yang berkelok dengan pemandangan lereng yang rimbun dan laut tenang di bawah sana adalah teman untuk merenungkan jawaban mengapa alam yang sedemikian indah dimengerti dengan tabu-tabu yang konyol, batin Jeremi. 

"Mengapa kau terus membungkus diri dalam misteri dan kecemasan?"

Jeremi bertanya kepada angin, dingin, dan bulan pucat yang terus samar oleh awan hitam. 

Tiba-tiba suara mesin Jeep meraung melambung dari sisi kanan. Suara persneling yang diganti terburu-buru terdengar layaknya lengking suara yang sedang melarikan diri dari kejaran bahaya. Motor Jeremi oleng sebentar, terkejut, lantas kembali stabil dan memacu mesin Honda yang memang makin bergairah di landas pacu berbukit.

"Siapa yang membawa Jeep selaju itu tanpa lampu?"

Saat itu juga, langit menumpahkan air yang terus deras yang menambah licin jalan dan menyamarkan gelap.  Tak ada lagi bulan pucat di atas sana. Bahaya kini tumbuh di sepanjang jalan. Jika tidak Jeep kesetanan itu, maka motor tentara Jerman ini yang akan tergelincir.

Jeremi makin bergairah. Dipacunya gas motor hingga ke batas tertinggi. 500 meter di depan, tikungan besar yang menjadi sumber kecemasan teman-temannya dan pak Mamat, sebentar lagi akan dilewati.

Brrrm.Brrrrmmm. Brrrrrrrrmmmmrrr.100 meter lagi. Tak ada suara mesin meraung selain mesin motornya sendiri. Di depannya, tikungan besar itu akan berkelok-kelok menurun. Hujan lebih pecah dari yang tadi.

"Kemana mereka?"

Jeremi memasang lampu jauh dan menyoroti sekeliling. Hawa dingin makin menggerogoti pangkal lehernya yang terikat lenso dari Rotterdam. Bukan dingin air. Dingin yang ganjil.

"Haaaaaaaa?"

100 meter dari tempatnya berhenti dan mengawasi, persis di tengah jalan, seorang perempuan dengan baju putih penuh darah sedang terbaring dengan rok yang tercabik. Kemaluannya mengeluarkan darah yang mengaliri air hujan dan menciptakan merah yang amis.

Sementara di tubuh perawat naas, dua pria berbadan besar dengan seragam militer lama, tertawa gembira tanpa suara. Wajah mereka wajah pucat bengis dan puas seperti baru saja menuntas misi paling berat sepanjang karirnya.

Rambut mereka pirang. Di dada kirinya, tertulis "United States Paratrooper".

Tentara Penerjun Amerika, batin Jeremi.

Wajah dua tentara itu lantas menatap tajam ke arahnya, dengan seringai senyum serupa serigala yang puas di depan tubuh korban hasil keroyokan syahwat. Sedang perempuan yang kemaluannya masih mengeluarkan darah......kini menatapnya dengan wajah memelas yang menyesal. Wajah perawat Jepang.

"Kau seharusnya tidak menantang tabu. Beratus tahun kami menunggu bebas dari kutukan ini."

Suara terakhir yang didengarnya sebelum jatuh. Tak sadarkan diri.  

***

Anton dan Hardi baru saja keluar dari ruangan dengan dinding putih kekuningan dengan dingin yang berjaga sepanjang waktu. Ruangan yang paling dihindari mereka sejak Jeremi, dengan keras kepala sok rasional, memutuskan membawa motornya  di malam ketika seluruh kota memilih diam di rumah. Jeremi tak pernah pulang sejak malam itu.

"Dik, sebentar..."

Anton dan Hardi menghentikan langkah, saling menatap cemas.

Lelaki berseragam coklat dengan bunga kecil keperakan berderet tiga di bahunya menyusul mereka.

"Kalian yakin tubuh di dalam itu bukan Jeremi?"

"Bukan, Pak."

"Maksudnya, coba diingat lagi, barangkali ada tanda-tanda yang terlewati?"

"Bukan, Pak. Sudah jelas bukan Jeremi."

"Mungkin dia menggunakan sesuatu yang.."

"Sudah kami ceritakan semuanya di dalam. Itu bukan Jeremi. Kurang jelas apalagi?!"

Hardi memotong pertanyaan, menarik tangan Anton, melangkah cepat-cepat. "Pemeriksaan yang tolol," hardik Anton pelan. "Huus!"

Di depan pintu kamar mayat itu, sesosok tubuh lelaki dengan kaca mata berlensa lebar dari platik, flanel merah bersepatu coklat yang berlumuran darah, menatap punggung Anton dan Hardi dengan air mata yang tertahan.

Di sampingnya, wajah perempuan dengan darah yang membuat seluruh rok putihnya berubah merah, juga menahan air mata. Tangannya terikat rantai yang terpasang di punggung  lelaki muda.

Anton tiba-tiba merasakan dingin yang gigil di tengkuknya.

"Har, sepertinya Jeremi ada di sini."

"Gila kamu!"

***

Jalan Raya Skyline ini akan ditutup selamanya. Para pengguna  jalan dapat melewati rute alternatif mulai saat ini. Dinas PU Propinsi.

Jeremi hanya bisa mematung di depan papan informasi. "Aku tak akan pernah bebas."

"Sebelum Perang Pasifik selesai, aku sudah gentayangan dengan dua penerjun masokis itu. Mulai sekarang, aku melewati kutukan denganmu, sialan."

Jeremi menoleh sekilas. Wajah bulat perawat Jepang yang sudah lupa kampung halaman.

"Menurut hikayat di kota ini, kau semestinya perempuan Belanda yang diperkosa tentara Jepang?"

"Apa bedanya? Kau pun kini terlihat seperti tentara Jerman. Mengapa kita tak belajar untuk saling mencintai?"

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun