'Pak Mamaat..kalau ibu nanya, bilang saja saya ke rumah teman. Itu pun kalau ditanya, ya."
"Nak, mau kemana? Tidak bisakah ditunda besok hari saja?"
Jeremi menengok wajah lelaki paruh baya yang telah berada di rumah ini sejak malam pertama ayah dan ibunya, "Pak...sudah bukan zamannya..."
Jeremi tak meneruskan kata-katanya. Ia hanya melihat kembar ketakutan Anton, Leo, Jhon, Hardi, Dhani, Aan---teman-teman yang dipelihara tabu dari masa lalu.
"Nak, setidaknya jangan melewati jalan itu," cemas pak Mamat.
"Saya berangkat Pak. Pintu samping jangan dikunci."
Suara berat GL Pro melaju sedang, menyusuri jalanan perumahan, lalu tiba di jalan besar yang lengang. Gerimis baru saja menepi, pantulan cahaya lampu kuning membentuk kristal-kristal yang menari di kulit aspal.
Dari balik kacamata berlensa lebar dari plastik, Jeremi menatap langit dengan bulan yang disembunyikan rombongan awan hitam. Langit dengan bulan pucat yang kelam.
Sekejap tiba di pertigaan kompleks Brigade Mobil, belok ke kiri, Jeremi memacu laju motornya meninggalkan Kotaraja, menyusuri lengang dengan pantulan kristal kuning di kulit aspal. Seolah prajurit Jerman yang bertugas mengantarkan surat rahasia, ia melaju menuju jalan yang lebih gelap dengan bebukitan penuh pepohonan besar sedangkan teluk Yotefa terlihat seperti  lubang hitam besar bawah sana.
Malam yang ditabukan. Ketakutan warga melahirkan sepi dimana-mana. Hanya Jeremi yang memberanikan diri untuk sesuatu yang tak jelas demi apa.
Sebenarnya suasana sepanjang jalan ini sangat bagus untuk melepaskan kebosanan. Medannya yang berkelok dengan pemandangan lereng yang rimbun dan laut tenang di bawah sana adalah teman untuk merenungkan jawaban mengapa alam yang sedemikian indah dimengerti dengan tabu-tabu yang konyol, batin Jeremi.Â