Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Simulakra Mata Mantan

21 Februari 2017   08:45 Diperbarui: 25 Februari 2017   22:00 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: HD Wallpapers Pop

Di Bawah Permukaan Air 

Dari bawah permukaan air,
langit terlihat luntur.
Suara gugur seperti air mata.

Tenggelamlah masa silam jadi batu,
ia yang tak bakal bangkit itu.

Di bawah permukaan air,
tertinggal hal-hal yang
diliat-lekatkan jadi lumpur.

Ia yang begitu hancur.

(Dedy Tri Riyadi, 2016)

Ada sepasang mata yang menyimpan teduh lagi lapang yang tanpa batas.

Seolah saja pada mata itu, Tuhan menitipkan pantai dengan pasir putih yang manja dan senja yang selalu hangat juga pepohonan nyiur dengan sepoi-sepoi angin serta gelombang samudra yang jauh dari lempengan tsunami.

Aku pertama jumpa mata yang seperti itu di bawah langit siang yang terik, milik tubuh yang masih dibaluti seragam putih abu-abu, dengan rambut hitam lebat seleher yang selalu menari manja kala dibelai gerak udara, berapa puluh tahun ke belakang. Ketika itu, aku sedang bertahan di tengah lapangan bola dengan beberapa bagian yang gundul ketika matahari menikam pas di atas kepala.

Seminggu sebelumnya, seamplop surat berlogo datang ke kelasku.

Surat selembar dengan perintah segera menghadap ke ruang yang di atas pintu masuknya tertulis, Bimbingan Konseling. Ruang yang disediakan untuk mendisiplinkan remaja  labil yang kehilangan cara menunjukkan protesnya, kehilangan bahasa untuk menyampaikan kritiknya, kehilangan kehangatan untuk menyampaikan suasana hatinya. Lantas melarikan semua sumbat-sumbat keresahannya kepada perilaku kepala angin hingga membuat ruang kelas sebagai pertunjukan dunia remaja tanpa ketertiban.

Sebenarnya surat tersebut adalah peringatan ketiga, artinya kepala anginku sudah di batas yang bisa diajak bicara. Dua surat sebelumnya hanya berakhir di tempat sampah tanpa pernah dibaca. Dan surat ketiga yang mengantarku berjuang melawan  tikaman panas terik nasibnya jauh lebih tragis: dibakar tanpa pernah dibaca.

“Kamu sekarang ke lapangan, berdiri disana sampai bel pulang berdentang!”

Perintah yang tak lagi memberi ruang negoisasi berteriak marah serasa hendak memakanku tanpa sisa persis ketika lembar terakhir dari surat ketiga menjadi abu. Aku hanya menatap kosong kepada tubuh pemilik suara, tubuh kecil dengan rambut selalu licin, baju disetrika rapi dan sepatu selalu hitam mengkilap. Sungguh tubuh yang tertib dan disiplin sekaligus penjaga moral yang tangguh.

Aku tahu perintah itu bisa menyelamatkanku dari percakapan-percakapan membosankan di ruang konseling. Percakapan-percakapan yang salah satunya akan merasa sebagai penyelamat sedang yang lainnya tidak lebih dari jiwa muda tersesat.

Aku tidak pernah suka bercakap dalam posisi timpang begitu. Aku memang tak ingin siapa pun mengetahui bagaimana hidup sehari-hari di luar pagar sekolah.

Di bawah terik, tatapanku berangsur-angsur mulai kabur. Lapangan bola, ruang-ruang kelas dengan teras yang lengang, pepohonan akasia yang menjadi pagar hijau diantara keduanya perlahan makin terlihat samar. Aku seperti sedang memandang keduanya dari balik kaca yang tebal oleh kepungan embun, antara terjaga dan tidur. Langit biru dengan awan yang entah kemana makin pasti terlihat kuning lalu penuh menghitam. Mula-mula dalam lingkaran kecil, terus membesar dan membesar.

Kakiku makin lemas, tubuhku limbung. Semuanya kemudian gelap.

“Heei. Bangunlah.”

Sebuah tepukan lembut di pipiku yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus berusaha mengembalikan ke dunia sesudah sebelumnya gelap memenuhi cakrawala.

 “Aku dimana?” hanya lirih tanya bercampur cemas muncul pertama kali.

“Kau sedang di kantin. Berbaringlah dulu, aku akan mengambil teh manis,” suara lembut yang tadi berusaha membangunkan  bergegas namun aku memegang tangannya, menunda langkahnya.

“Aku pingsan?”

Wajah pemilik suara lembut hanya tersenyum. Tatapanya begitu hangat, cemasnya lenyap.

Aku melihat mata yang teduh dan lapang. Mata penuh tulus peduli menyelamatkan ketika seluruh dunia meletakkan aku di kategori jiwa-jiwa yang wajib dijauhi.

Mata yang menyandera mataku untuk selalu butuh.  

***

 “Haaaa!”

Tepukan dengan niat mengagetkan tiba di belakang pundakku. Aku membalik tubuh dan tersenyum.

“Maaf ya, kamu jadi harus menunggu.”

“Gak kok, guru matematika tadi memang gak masuk, tapi aku baru keluar kelas lima menit sebelum bel.”

“Oh. Jadi PR-nya belum dikumpul dong?”

“Mungkin besok.”

“Kita makan bakso dulu yuk, terus ke supermarket, aku mau beli bedak.”

“Beli bedak?”

“Iya. Kulit wajahku rasanya kasar dan terlalu gelap. Mungkin suatu saat, aku perlu merawat tubuhku ke salon.”

“Oke Bos Putri. Apa sih yang enggak?”

Sebuah cubitan manja mendarat di pinggangku.

“Ngal, menurutmu, rambutku sebaiknya dibiar seperti ini atau dipotong agak pendek?”

Tanya yang meluncur pelan ketika kami berhadapan di dalam warung bakso yang ramai. Aku memang dipanggilnya Bengal, sedang dia kupanggil Putri. Nama yang kami berikan sebagai perlambang dua jiwa yang sedang berkasih mesra, sekurangnya di hatiku.

“Emang kenapa dengan potongan sekarang, Put. Kamu udah sempurna kok?”

“Aku merasa kuno. Kurang gaul, Ngal.”

“Iyaa, nanti dipotong pendek rambutnya.”

“Oh ya Ngal, kalau mataku hijau, mungkin terlihat lebih indah ya?”

“Hijau? Mengapa harus Putri? Matamu sudah tak punya tandingan.”

“Yah, pakai lensa kontak Ngal. Sudah banyak dijual lho, aku lihat iklannya di televisi. Gerainya sebentar lagi masuk kesini.”

“Ya, terserah deh. Yang penting kamu senang, aku sama,” balasku. Kutatap matanya yang menjadi saksi rinduku yang awet, jangan pernah membuatku rapuh, gumamku.

Sejak matanya berkuasa  atas mataku, sekarang hari-hari selalu menyenangkan, selain tentu saja, tertib. Bengalku musnah sudah,indispliner yang meresahkan tenggelam bersama permintaan manja yang selalu tak bisa diabaikan.

Tak ada lagi pertunjukan protes yang menyamarkan dirinya ke dalam aksi-aksi bengal. Tak ada lagi remaja labil yang didisiplinkan ruang konseling.

Hari-hari yang menjadi saksi dari dua jiwa muda yang sedang mencari dirinya dalam masing-masing mereka. Hari-hari yang membuatku mengabadikan kesetiaan dan pelayanan seutuhnya, tanpa cacat.

***

“Ngal, please, jangan murung begitu. Aku hanya pindah metropolitan, meneruskan pendidikan yang lebih baik. Kamu tahu sejak dulu aku ingin menjadi wanita karir yang sukses.”

Sangat berat menyetujuinya pergi kesana, metropolis yang sibuk demi mimpi-mimpinya. Aku dibekap takut, takut tak bernama. Tanpa matanya, aku jelas setengah hidup atau menunda datang kematian.

“Aku janji Ngal, aku akan selalu mengirim surat. Masa depan tidak akan membuatku mengabaikanmu, percayalah.”

Pintanya manja, sembari tersenyum menampilkan gigi putih yang mulai berkawat, ia menyodorkan kelingkingnya. Aku memeluk dan menatap cemas ke matanya yang kini lebih senang berwarna hijau.

Aku memang tak pernah bisa pergi ke dunianya, mengikutinya bersekolah di universitas yang sama. Dari keluarga yang berayah buruh dan ibu yang penjaja sayur dengan anak selusin, lulus dari SMA adalah pencapaian yang penuh peluh dan kerja yang lebih keras dari kerbau penarik bajak. Dia tahu itu.

Aku tak mungkin bisa melarangnya untuk pergi. Termasuk berjanji akan menyusulnya.

Ia memiliki sejuta mimpi, bukan saja terhadap tubuh yang ideal, namun juga terhadap hidup yang seharusnya. Ia memiliki mimpi untuk mata yang hijau, gigi putih yang rapi dikawat, dan potongan rambut yang selalu up to date seiring persaingan iklan di televisi. Ia juga menginginkan kerja yang dibayar mahal, rumah yang memiliki kolam renang dan mobil mahal yang disetirnya sendiri. Mungkin juga liburan ke mancanegara dan akhir pekan rutin di klub malam.

Sementara itu, aku harus kembali memperjuangkan hidupku yang merayap diantara cemas dan kerinduan. Tapi itu tak berlangsung lama. Metropolis membuat matanya bersinar bersama lupa padaku, penggal riwayat masa remajanya yang seolah tak pernah bermakna.

***

“Bos, sudah dengar kabar di dusun?”

Imron terlihat gusar. Dengan hati-hati ia menyodorkan kertas tebal berbungkus plastik berwarna merah darah. Sepagi ini, aku biasanya belum sepenuhnya terjaga. Minuman keras selalu membuatku bangun lebih siang di terminal.

“Ada apa?”

“Pernikahan….”

Aku hanya mengibas tanganku pelan. Imron tahu itu artinya segera berlalu dari pandanganku. Tapi ia enggan.

“Bos?”

Aku tahu kabar seperti ini akan datang walau dalam hatiku berharap ini ilusi. Tapi tak pernah membayangkan Putri memberitahukannya lewat cerita orang kampung.

Tahun-tahun yang ia janjikan penuh surat dan tak pernah mengabaikanku kini serendah iklan di televisi. Mimpi-mimpi tak pernah puas yang membawanya ke kota, menuntunnya berubah, dan, membuat mata teduh lagi lapang menghilang kembali melemparku kembali pada kebengalan yang memuntahkan kemarahan kedalam jiwa kriminal tak terperi.

“Kumpulkan teman-teman, kita ke tempat terkutuk itu.”

“Kita akan menghadiri pestanya?”

“Mata itu tak boleh menjadi teduh selain untuk mataku.”

Pernah ada sepasang mata yang menyimpan teduh dan lapang. Mata yang membebaskanku. Mata yang menertibkanku.

Mata yang mencari akhir hidupnya dan hidupku di kota. Mata sebelum televisi mengaburkan senyatanya dan tipu daya hasrat kedalam penjara simulakra.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun