Aku memang tak pernah bisa pergi ke dunianya, mengikutinya bersekolah di universitas yang sama. Dari keluarga yang berayah buruh dan ibu yang penjaja sayur dengan anak selusin, lulus dari SMA adalah pencapaian yang penuh peluh dan kerja yang lebih keras dari kerbau penarik bajak. Dia tahu itu.
Aku tak mungkin bisa melarangnya untuk pergi. Termasuk berjanji akan menyusulnya.
Ia memiliki sejuta mimpi, bukan saja terhadap tubuh yang ideal, namun juga terhadap hidup yang seharusnya. Ia memiliki mimpi untuk mata yang hijau, gigi putih yang rapi dikawat, dan potongan rambut yang selalu up to date seiring persaingan iklan di televisi. Ia juga menginginkan kerja yang dibayar mahal, rumah yang memiliki kolam renang dan mobil mahal yang disetirnya sendiri. Mungkin juga liburan ke mancanegara dan akhir pekan rutin di klub malam.
Sementara itu, aku harus kembali memperjuangkan hidupku yang merayap diantara cemas dan kerinduan. Tapi itu tak berlangsung lama. Metropolis membuat matanya bersinar bersama lupa padaku, penggal riwayat masa remajanya yang seolah tak pernah bermakna.
***
“Bos, sudah dengar kabar di dusun?”
Imron terlihat gusar. Dengan hati-hati ia menyodorkan kertas tebal berbungkus plastik berwarna merah darah. Sepagi ini, aku biasanya belum sepenuhnya terjaga. Minuman keras selalu membuatku bangun lebih siang di terminal.
“Ada apa?”
“Pernikahan….”
Aku hanya mengibas tanganku pelan. Imron tahu itu artinya segera berlalu dari pandanganku. Tapi ia enggan.
“Bos?”