Aku tahu kabar seperti ini akan datang walau dalam hatiku berharap ini ilusi. Tapi tak pernah membayangkan Putri memberitahukannya lewat cerita orang kampung.
Tahun-tahun yang ia janjikan penuh surat dan tak pernah mengabaikanku kini serendah iklan di televisi. Mimpi-mimpi tak pernah puas yang membawanya ke kota, menuntunnya berubah, dan, membuat mata teduh lagi lapang menghilang kembali melemparku kembali pada kebengalan yang memuntahkan kemarahan kedalam jiwa kriminal tak terperi.
“Kumpulkan teman-teman, kita ke tempat terkutuk itu.”
“Kita akan menghadiri pestanya?”
“Mata itu tak boleh menjadi teduh selain untuk mataku.”
Pernah ada sepasang mata yang menyimpan teduh dan lapang. Mata yang membebaskanku. Mata yang menertibkanku.
Mata yang mencari akhir hidupnya dan hidupku di kota. Mata sebelum televisi mengaburkan senyatanya dan tipu daya hasrat kedalam penjara simulakra.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H