Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yogyakarta-Matadewa-Permataku; Meresapi Puitika dalam Lagu

21 Oktober 2016   11:57 Diperbarui: 21 Oktober 2016   18:35 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini kali sudah kesekian S Aji menulis kekaguman tiada henti pada puisi. 

Semoga kau yang sudi membuang detik membacanya tiada jengah dan muntah-muntah sebelum tiba di paragraf terakhirnya. Sebab bisa jadi, bukan karena kesaksian atas "yang puitis" sebagai sebab tunggal yang membuatmu semerana itu. Berpikirlah kemungkinan lain: mungkin kau sedang ngidam di musim yang salah atau kau masih mabuk kesepian di hari yang masih itu-itu saja. Dan, andai dua hal ini gugur sebagai alasan, maka satu yang perlu kau pikirkan, kau telah terlalu kaku dan berdebu. Waktu telah meremukmu! Hmmm.

S Aji memang sedang mendengarkan beberapa lagu sekarang ini. Mendengarkan dengan sungguh mengikhlaskan telinga menyambungkan dirinya dengan lirik, senandung, musik kedalam geliat emosi pada seluruh pengalaman kebertubuhan diri(nya).  

Mengapa harus menyebut pengalaman kebertubuhan manusia? 

Sebab kata guru S Aji, berpuisi adalah karunia milik manusia yang hanya bisa diproduksi dan dinikmati oleh manusia. Malaikat dan lain-lain tidak.

Penting menggarisbawahi pengalaman manusia bukan jenis-jenis manusia. Sebab jika kau yang sok rasional, berjarak dalam kekeringan emosi, lantas berlagak kritis dan telah merasa diri sedang memegang kunci-kunci dari rahasia memaknai peristiwa yang kau baca di media massa lantas meletakkan tutur puitik sebagai ungkap kecengengan dan kelebayan diri, maka kata guru saya lagi, tolong tunjukan filosof mana yang tidak menulis puisi. Paling kurang, membaca dan mengomentarinya.

Tapi S Aji tidak membicarakan puisi dalam kritik atas rasionalisme kering yang tak bisa berkata-kata ketika ilmu pengetahuan menghadirkan panggung besar bagi manusia untuk bunuh-bunuhan dan politik membenarkannya atas nama kedaulatan dan nasionalisme yang mabuk itu.

Masih tidak percaya rasionalisme sok mengontrol itu tidak berbahaya bagi hidupmu? Bertanyalah pada Mbah Adorno dan Mbah Horkheimer.

S Aji hanya ingin bicara tentang tiga lagu dengan tutur puitika yang membawa pengalaman kebertubuhan manusia menjumpai pengertian yang menyegarkan. Pengertian yang bisa jadi sebelumnya belum terbayangkan oleh jenis tutur yang memaksa diri ketat pada data dan logika. 

Lagu apa saja itu?

www.catatan-efi.com
www.catatan-efi.com
Pertama, Yogyakarta-nya KLA Project. 

Hampir semua lagu mereka berdaya puitis. Karena itu juga, sejak SMA sampai detik ini, mendengarkan lagu-lagu KLA adalah juga menenggelamkan diri pada pengertian-pengertian puitis akan kerinduan, gejolak cinta, patah hati, dan rasa peduli bersama. 

Joko Pinurbo pernah bilang, Yogya terbuat dari rindu, pulang dan angkringan. KLA menafsirkannya lebih getir. Simak saja pembuka dari lagu yang mendapatkan pernghargaan lagu terbaik BASF tahun 1991 itu. 

Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgia
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja

Yogyakarta adalah kerinduan yang tak lagi menemukan subyek yang pernah menulis cerita indah bersama lalu mengabadikan nostalgia. Tapi Yogya bukan saja sosok, kota ini juga adalah pengalaman akan ruang dengan ramai kaki lima (angkringan) juga musisi jalanan.

Yogya adalah pengalaman akan nyaman masa lalu yang kini menjadi panggilan meresapi getirnya kenangan. Kau boleh katakan, dari lagu itu, Yogya yang pernah berhati nyaman kini adalah ruang hidup yang mengawetkan "memoria passionis", memori penderitaan. Duh, kok kayak faktual ya?

Lirik pembuka di atas jelas puitis. Ia bukan saja membuat perasaan-perasaan memiliki metafor namun juga membuat ruang berbicara: ada rindu kita yang disimpan sepi pada ramai Malioboro, wahai mantan! #eh 

Yogyakarta dalam tutur puitis gaya KLA belum ada tandingannya sampai detik ini, bagi saya. Doel Sumbang memang pernah menutur Yogyakarta yang juga romantis. Tapi Doel bicara tentang kebahagiaan yang dititipkan pada Yogyakarta, khususnya Malioboro. Liriknya juga cukup puitis, seperti: ada sajak yang indah di Malioboro, sajak cinta tentang engkau dan aku.

Sajak cinta yang mereka miliki bersama kenangan atas goreng pisang panas dan gelar tikar di bawah ubun-ubun Yogyakarta.

Tutur puitika dalam Yogyakarta-KLA memberikan pengertian yang segar tentang pengalaman kebertubuhan manusia (dengan segenap desak emosinya) pada sebuah ruang yang bukan merupakan obyek pasif. Ruang itu bicara dalam desak emosi.

Dengan kata lain, manusia dan ruang saling membentuk diri. 

Belum yakin juga nih Mblo?

Simak deh lirik berikut:

Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri
Ditelan deru kotamu ...

Hello-PET.com
Hello-PET.com
Kedua, lagu Mata Dewa yang dinyanyikan Iwan Fals. 

Menurut Pongky Jikustik, salah satu lagu yang dinyanyikan dengan penghayatan puitis yang dahsyat oleh Bang Iwan adalah lagu ini. Menurut saya, Pongky gak bener-bener mendengar lagu-lagu Iwan (tolong jangan percaya ini). Memangnya Kesaksian yang dinyanyikan bersama Kantata tak kalah puitis?

Kesaksian kental sekali dengan puisi peringatan, kemarahan sekaligus pembelaan pada orang-orang kecil, Kawan! Ya, bagaimana tidak, Rendra yang bikin liriknya.

Tapi barangkali, karena ini perkara cinta sepasang kekasih, maka Matadewa lebih mewakili ungkap emosinya. Dan jiwa-jiwa yang baru patah akan selalu perlu dengan jenis lirik seperti yang dikandung lagu ini. 

Saya nukilkan saja lirik di bagian kedua:

Lidah gelombang jilati batinku
Belaian karang sampai ke jantungku
Hingga matahari ajak aku pergi
Kasihku tulus setulus indahmu

Mari baca dan resapi liriknya baik-baik, bila masih kurang, diulang lagi. Masih kurang lagi, dengarkan lagunya sambil membayangkan hidupmu yang dilemaah. 

Matadewa adalah ungkap puitis tentang perpisahan. 

Agak berbeda dengan Yogyakarta yang mengeluarkan rasa sakit patah hati dari sebuah pengalaman akan ruang, Matadewa menjadikan ruang (matahari senja, pantai, laut) sebagai saksi atas keputusan perpisahan itu.

Matadewa juga menuturkan bahwa perpisahan adalah jalan untuk menjumpai sesuatu yang lebih baik, lebih substansiil. Sebab itu, sangat terbuka bahwa yang dimaksud adalah jalan menuju kerinduan yang lebih hakiki. Walau begitu, kau, kau tetap saja indah yang kukasihi dengan tulus. #Uhuui.

Matadewa jadi terbaca sebagai pengalaman yang kini dan yang abadi. 

Ini seperti mengatakan, sebagaimana dari pengertian akan tradisi dari Hassan Hanafi, ia menghubungkan apa yang material (saat kau rebah di bahu kiriku, helai rambutmu halangi khusukku) sekaligus juga eksistensi yang spiritual (gemuruh ombak sadarkan sombongku. Ajaklah aku wahai sang perkasa). 

Coba dengarkan baik-baik deh, lagu ini bicara tentang kehadiran yang transenden dalam kehadiran perempuan yang harus ditinggalkan: yang menangis tinggalkan diriku, yang menangis lupakanlah aku. Senja di hati!

the-MING - DeviantArt
the-MING - DeviantArt
 Ketiga, Permataku milik Java Jive. 

Java Jive yang asal Bandung adalah salah satu band yang mampu solid melewati dua dasawarsa. Band ini adalah band zaman SMA yang lagu-lagunya cukup populer di zaman saya pernah mencoba mengirim coklat plus bunga mawar dari pot bunga milik tetangga yang ketika tiba di sasaran disangka kado ultah. Mampus dah!.

Permataku masih soal hubungan cinta sepasang kekasih. Ia bertutur tentang hubungan yang sudah bubar namun kenangan atasnya masih aktif meremuk. Ia bertutur ketidakmampuan untuk pindah hati sementara hari-harinya sudah penuh siksa. Hati memang bukan rumah kost, Bro. 

Simak dah lirik pembukanya:

Harusnya aku berlari saja
Menghindari semua yang menimpa
Takkan kubiarkan diriku terus
Terlena dalam khayalku

Bila dibaca seksama, terlihat sekali kehendak yang gagal bertindak oleh jiwa yang diikat oleh kisah cinta yang tak jelas ujungnya. Kenangan masih kental menghisapnya kedalam rasa sakit dan ilusi. Tapi kok bertahan ya?

Sudah ngerti kan mengapa rasionalisme yang kering airmata akan lekas bunuh diri kalau berjumpa kondisi terpuruk seperti ini dan tak punya puisi untuk mengheningkan dirinya?

Namun, yang terasa sangat puitis di penikmatan emosi saya, adalah pada lirik:

Aku hancur lantak bagai debu
Aku telanjang tanpa kasihmu
Bibirku kering laksana berkarat
Tempat teduhku hanya dirimu

Wooow!

Betapa ketermukan itu begitu cerdas diwakili oleh permainan diksi, antara rasa dan benda-benda. Ini jelas puitis dan Capung yang menciptakan lagu ini patut diacungi jempol. 

Berbeda dengan dua lagu sebelumnya dimana puitikanya mengambil pengalaman kebertubuhan manusia (semesta emosi yang menubuh) dengan dialog ruang (kota, kaki lima, musisi jalan atau senja, rambut, di pantai), Permataku lebih pada tubuh kepada tubuh, emosi pada emosi yang dirajam pedihnya perpisahan. 

Walau terbaca lebih cengeng dari dua yang pertama, Permataku tetap adalah sejenis ungkap puitik dalam lagu tentang penderitaan rasa sakit. Juga bagaimana manusia tidak mudah mengambil keputusan dan ketegasan meniti jalan baru demi keluar dari khayal atas kasih mesra yang pernah indah.

Manusia, sekali lagi, bukan ketetapan yang sudah pasti dan kukuh. Manusia membentuk diri oleh pasang surut penderitaan dan kebahagiaan, bukan?

Dari "dialog" dengan tiga lagu band nasional itu, saya kini memiliki dasar, semacam pintu masuk memaknai teks-teks Bob Dylan yang baru saja mendapat Nobel Sastra. Musisi yang lahir tahun 1941 ini dihargai karena kemampuan dan konsistensi menciptakan lirik lagu yang puitis atau menghadirkan puisi dalam lagu-lagunya.

Lelaki ini  dinilai telah memberi kontribusi dalam gaya menulis puitis baru dalam tradisi lagu Amerika, seperti diberitakan CNN Indonesia.

Jadi, kalau kau kehilangan energi mengelola puisi, dengarkan lagu. Kalau lagu tidak cukup, sediakan selalu ruang di hatimu untuk rasa haru dan airmata atas sesama yang malang.

Dan ingatlah wahai rasionalisme sok gagah, peringatan Bob Dylan pada "kesadaran yang berdiri di balik pintu",...and don't criticize what you can't understand (The Times They Are A Changin' 1964).

Sampai disini dulu, terimakasih sudah mau buang-buang waktu.

Selamat siang, Sarung!

*** 

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun