Namun, yang terasa sangat puitis di penikmatan emosi saya, adalah pada lirik:
Aku hancur lantak bagai debu
Aku telanjang tanpa kasihmu
Bibirku kering laksana berkarat
Tempat teduhku hanya dirimu
Wooow!
Betapa ketermukan itu begitu cerdas diwakili oleh permainan diksi, antara rasa dan benda-benda. Ini jelas puitis dan Capung yang menciptakan lagu ini patut diacungi jempol.Â
Berbeda dengan dua lagu sebelumnya dimana puitikanya mengambil pengalaman kebertubuhan manusia (semesta emosi yang menubuh) dengan dialog ruang (kota, kaki lima, musisi jalan atau senja, rambut, di pantai), Permataku lebih pada tubuh kepada tubuh, emosi pada emosi yang dirajam pedihnya perpisahan.Â
Walau terbaca lebih cengeng dari dua yang pertama, Permataku tetap adalah sejenis ungkap puitik dalam lagu tentang penderitaan rasa sakit. Juga bagaimana manusia tidak mudah mengambil keputusan dan ketegasan meniti jalan baru demi keluar dari khayal atas kasih mesra yang pernah indah.
Manusia, sekali lagi, bukan ketetapan yang sudah pasti dan kukuh. Manusia membentuk diri oleh pasang surut penderitaan dan kebahagiaan, bukan?
Dari "dialog" dengan tiga lagu band nasional itu, saya kini memiliki dasar, semacam pintu masuk memaknai teks-teks Bob Dylan yang baru saja mendapat Nobel Sastra. Musisi yang lahir tahun 1941 ini dihargai karena kemampuan dan konsistensi menciptakan lirik lagu yang puitis atau menghadirkan puisi dalam lagu-lagunya.
Lelaki ini  dinilai telah memberi kontribusi dalam gaya menulis puitis baru dalam tradisi lagu Amerika, seperti diberitakan CNN Indonesia.
Jadi, kalau kau kehilangan energi mengelola puisi, dengarkan lagu. Kalau lagu tidak cukup, sediakan selalu ruang di hatimu untuk rasa haru dan airmata atas sesama yang malang.
Dan ingatlah wahai rasionalisme sok gagah, peringatan Bob Dylan pada "kesadaran yang berdiri di balik pintu",...and don't criticize what you can't understand (The Times They Are A Changin' 1964).