Sebab para penulis Fiksi harus selalu terlibat dalam ketegangan antara yang imajiner dan yang riil. Dalam ketegangan keduanya, bahasa adalah perkakas yang tidak mudah digunakan seperti kita menulis berita atau opini. Bahasa fiksi—atau lebih teknis lagi bahasa puitika dalam cerpen, prosa, puisi, drama, dll—tidak bisa dibaca “lurus-lurus”. Ketakbisaan dibaca lurus-lurus yang disebut Sapardi Djoko Damono dengan kalimat “bilang begini, maksudnya begitu!”.
Kegairahan menelusuri dan membentuk "bahasa puitika" inilah api yang akan selalu menyala-nyala dalam sanubari Fiksianer.
Karena itu juga sejatinya bergiat di kanal Fiksi adalah pengabdian kata yang sunyi. Yang mengabdi dalam sunyi itulah yang sejujur-jujurnya pengabdi.
Anda setuju?
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H