Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Nostalgia Kampus dan Kompasiana

13 Juli 2016   15:45 Diperbarui: 13 Juli 2016   16:08 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebab para penulis Fiksi harus selalu terlibat dalam ketegangan antara yang imajiner dan yang riil. Dalam ketegangan keduanya, bahasa adalah perkakas yang tidak mudah digunakan seperti kita menulis berita atau opini. Bahasa fiksi—atau lebih teknis lagi bahasa puitika dalam cerpen, prosa, puisi, drama, dll—tidak bisa dibaca “lurus-lurus”. Ketakbisaan dibaca lurus-lurus yang disebut Sapardi Djoko Damono dengan kalimat “bilang begini, maksudnya begitu!”. 

Kegairahan menelusuri dan membentuk "bahasa puitika" inilah api yang akan selalu menyala-nyala dalam sanubari Fiksianer.

Karena itu juga sejatinya bergiat di kanal Fiksi adalah pengabdian kata yang sunyi. Yang mengabdi dalam sunyi itulah yang sejujur-jujurnya pengabdi. 

Anda setuju?

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun