Sebab para penulis Fiksi harus selalu terlibat dalam ketegangan antara yang imajiner dan yang riil. Dalam ketegangan keduanya, bahasa adalah perkakas yang tidak mudah digunakan seperti kita menulis berita atau opini. Bahasa fiksi—atau lebih teknis lagi bahasa puitika dalam cerpen, prosa, puisi, drama, dll—tidak bisa dibaca “lurus-lurus”. Ketakbisaan dibaca lurus-lurus yang disebut Sapardi Djoko Damono dengan kalimat “bilang begini, maksudnya begitu!”.
Kegairahan menelusuri dan membentuk "bahasa puitika" inilah api yang akan selalu menyala-nyala dalam sanubari Fiksianer.
Karena itu juga sejatinya bergiat di kanal Fiksi adalah pengabdian kata yang sunyi. Yang mengabdi dalam sunyi itulah yang sejujur-jujurnya pengabdi.
Anda setuju?
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI