Seminggu lalu saya mengalami nostalgia kecil. Nostalgia masa-masa kuliah.
Ketika itu saya sedang mencari majalah Tempo di sebuah pertokoan di sudut kota Manado. Tak disangka, di depan kasir, seorang dengan kepala yang makin plontos di bagian atas, beruban di sampingnya, dan agak tambun sedang berdiri dengan tas plastik. Tanpa menelisik terlalu lama, saya tahu itu dosen saya dulu.
Jadi saya merapatkan langkah.
“Malam bae, Meneer,” tegur saya. Sembari mengulurkan tangan, mengajak jabat.
“Malam Bae..heei, Aji? Wah. Lama tidak ketemu. Sudah dimana sekarang?” jawab dosen saya, tersenyum. Saya merangkul bahunya, tanda hormat sekaligus rindu. Alhamdulillah, beliau masih mengenal wajah tengil ini. Atau mungkin, sampai detik kami bertemu, tidak ada lagi mahasiswa yang setengil saya, ha ha ha.
Kami lalu ngobrol kondisi di jurusan, pastilah. Saya bertanya beberapa dosen, apakah sudah pensiuan atau masih aktif mengajar. Termasuk menanyakan dosen pembimbing akademik (PA), dosen paling killer di jurusan. Beliau adalah yang mengajari saya banyak hal. Ternyata dosen PA saya sudah pensiun. Saya juga bertanya siapa saja dosen-dosen baru. Saya memang pernah ingin menjadi dosen. Sayang dosen-dosen belum mau saya menjadi bagian dari mereka. Hiks.
Saya lalu ingat dulu sering tidak setuju dengan beliau. Sering mendebat pikirannya di ruang kuliah. Tapi kami tidak pernah menyimpan sakit hati. Dalam haru biru nostalgis itu, tiba-tiba saja, dosen saya ini berkata, “Ji, setiap orang ada sisi lemah dan baiknya. Demikian juga setiap sistem.”
Saya terus diam. Ini maksudnya apa? Apakah saya masih terlihat sebagai tukang protes? Please, sudah bertahun kita tidak berdebat, saya sudah berubah. Atau masih mau mencoba Meneer?
“Maksud saya, kondisi hari ini,” katanya menjelaskan seolah saja mengerti jika pernyataan tersebut akan mengembalikan kami berdua ke masa lalu perkuliahan.
“Wahahaha,” saya ketawa. Beliau tersenyum.
Tak lami kemudian kami berpisah. Saya memeluknya, erat. Sehat-sehat selalu, Meneer. Doa saya.