Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Nostalgia Kampus dan Kompasiana

13 Juli 2016   15:45 Diperbarui: 13 Juli 2016   16:08 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Seminggu lalu saya mengalami nostalgia kecil. Nostalgia masa-masa kuliah.

Ketika itu saya sedang mencari majalah Tempo di sebuah pertokoan di sudut kota Manado. Tak disangka, di depan kasir, seorang dengan kepala yang makin plontos di bagian atas, beruban di sampingnya, dan agak tambun sedang berdiri dengan tas plastik. Tanpa menelisik terlalu lama, saya tahu itu dosen saya dulu.

Jadi saya merapatkan langkah.

“Malam bae, Meneer,” tegur saya. Sembari mengulurkan tangan, mengajak jabat.

“Malam Bae..heei, Aji? Wah. Lama tidak ketemu. Sudah dimana sekarang?” jawab dosen saya, tersenyum. Saya merangkul bahunya, tanda hormat sekaligus rindu. Alhamdulillah, beliau masih mengenal wajah tengil ini. Atau mungkin, sampai detik kami bertemu, tidak ada lagi mahasiswa yang setengil saya, ha ha ha.

Kami lalu ngobrol kondisi di jurusan, pastilah. Saya bertanya beberapa dosen, apakah sudah pensiuan atau masih aktif mengajar. Termasuk menanyakan dosen pembimbing akademik (PA), dosen paling killer di jurusan. Beliau adalah  yang mengajari saya banyak hal. Ternyata dosen PA saya sudah pensiun. Saya juga bertanya siapa saja dosen-dosen baru. Saya memang pernah ingin menjadi dosen. Sayang dosen-dosen belum mau saya menjadi bagian dari mereka. Hiks.

Saya lalu ingat dulu sering tidak setuju dengan beliau. Sering mendebat pikirannya di ruang kuliah. Tapi kami tidak pernah menyimpan sakit hati.  Dalam haru biru nostalgis itu, tiba-tiba saja, dosen saya ini berkata, “Ji, setiap orang ada sisi lemah dan baiknya. Demikian juga setiap sistem.”

Saya terus diam. Ini maksudnya apa? Apakah saya masih terlihat sebagai tukang protes? Please, sudah bertahun kita tidak berdebat, saya sudah berubah. Atau masih mau mencoba Meneer?  

“Maksud saya, kondisi hari ini,” katanya menjelaskan seolah saja mengerti jika pernyataan tersebut akan mengembalikan kami berdua ke masa lalu perkuliahan.

“Wahahaha,” saya ketawa. Beliau tersenyum.

Tak lami kemudian kami berpisah. Saya memeluknya, erat. Sehat-sehat selalu, Meneer. Doa saya.

Gegara jumpa singkat, saya jadi dihidupi nostalgia pada kehidupan kampus. Tapi bukan nostalgia biasa. Ini jenis nostalgia yang menuntun saya dalam bergiat di Kompasiana. Apakah itu?

Kampus saya adalah kampus kecil, bukan bagian dari kampus prestisius di Indonesia Raya walau menggunakan nama besar Sam Ratulangi, salah satu futurolog awal yang dilahirkan Bumi Minahasa. Mahasiswa sejurusan yang satu angkatan tidak sampai tiga puluhan orang. Di tengah perjalanan kuliah bahkan ada yang pindah jurusan. Makin sempurnalah kesunyian di kelas kami.

Tapi ternyata jumlah yang kecil dan kesunyian kelas inilah yang membentuk kami.

Kami jadi sangat solid dan tumbuh bersama seperti keluarga. Bukan saja mengerjakan tugas paper bersama-sama tetapi juga berbagi masalah sehari-hari. Dari perkara apa yang dimaksud Weber dengan asketisme dalam dunia sampai pasang surut kisah cinta dengan mahasiswa jurusan lain, kami hadapi sama-sama. Dosen-dosen kami pun begitu. Sangat dekat dengan mahasiswanya walau diantara mereka ada “persaingan geng” diam-diam. Tak jarang mereka seperti teman curhat saja. Termasuk kepada saya yang tengil ini, tetap diterima walau sering sekali menjengkelkan.

Jumlah kecil memang memudahkan hubungan-hubungan yang rapat lagi hangat. Jumlah kecil yang membuat kesadaran selalu menjadi bagian dari kesadaran yang lain; melatih empati, kepercayaan, solidaritas. Dengan kata lain menjadi dasar bagi pembentukan modal sosial. Modal sosial yang mendukung kami tumbuh bersama-sama sebagai mahasiswa sosiologi. Bahwa sesudah lulus banyak teman yang tidak lagi memaknai dunia sosial dalam cara memahami sosiologi, itu perkara yang lain.

Selain itu, dalam jumlah kecil, kami "dipaksa" berani sebagai pribadi-pribadi dalam mengembang tanggungjawab. Kami tidak bisa bersembunyi di tengah ramai kerumunan atau menumpang untung dari ramai kelompok ketika perkuliahan berlangsung dalam tanya jawab teoritis. Demikian juga dalam tugas kelompok, hanya mereka yang benar-benar tega saja yang membuat temannya bekerja sendiri. Jumlah kecil membuat kami tampil sebagai individu-individu bukan kerumunan (crowd).

Karena dibentuk masa lalu Kampus seperti ini saya memiliki kecenderungan selalu betah pada "jumlah yang kecil, sunyi juga hangat". Bisa juga dibilang agak risih di depan ramai dan terlalu banyak lampu. Demikian juga perasaan yang hidup kala bergiat di Kompasiana. Persisnya di kanal Fiksiana. 

Berbeda dengan kanal bola dan politik yang mudah sekali memicu naiknya jumlah pembaca, fiksiana tidak begitu. Apalagi jika ada kontroversi dan polemik. Di Fiksiana, karya yang dibaca dua ratus pasang mata sudah banyak. Tak jarang pembaca sering sepi sekali. 

Diskusi tentang sepinya kanal Fiksi pernah dibahas di grup Inbox dimana saya ikut di dalamnya. Banyak teman K’ers yang menunjukkan keprihatinan. Ada banyak yang memberi pandangan juga cara meramaikan. Sehingga kemudian sempat berlangsung beberapa event di kanal Fiksi untuk menciptakan keramaian.

Tapi kita tahu Fiksi tidak bisa dihidupi dengan “kesepakatan meramaikan”. Atau dengan maksud lain dengan terus menerus menciptakan event. Fiksi akan bergairah, hemat saya, justru karena ia menolak ramai. Ia menjadi bergairah karena ia merawat sisi hening yang tenggelam dalam hiruk pikuk politik. Atau kontroversi selebritas yang seringkali merawat pergunjingan saja.

Mengapa bisa?

Sebab para penulis Fiksi harus selalu terlibat dalam ketegangan antara yang imajiner dan yang riil. Dalam ketegangan keduanya, bahasa adalah perkakas yang tidak mudah digunakan seperti kita menulis berita atau opini. Bahasa fiksi—atau lebih teknis lagi bahasa puitika dalam cerpen, prosa, puisi, drama, dll—tidak bisa dibaca “lurus-lurus”. Ketakbisaan dibaca lurus-lurus yang disebut Sapardi Djoko Damono dengan kalimat “bilang begini, maksudnya begitu!”. 

Kegairahan menelusuri dan membentuk "bahasa puitika" inilah api yang akan selalu menyala-nyala dalam sanubari Fiksianer.

Karena itu juga sejatinya bergiat di kanal Fiksi adalah pengabdian kata yang sunyi. Yang mengabdi dalam sunyi itulah yang sejujur-jujurnya pengabdi. 

Anda setuju?

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun