Malam itu angin telah menghalau musim semi tanpa jejak. Dingin melecut lembah dengan garangnya. Mereka telah sampai di pintu gerbang.
"Hidup Pendekar Pedang Akhirat..!" terdengar teriakan warga menyambut.
"Dengar, warga penduduk Sujiwo. Ada yang mau kukatakan kepada kalian!" kata Lintang. Warga yang dari tadi berkerumun itu pun merapatkan diri. Mereka semua tampak bersiap-siap untuk pergi meninggalkan Lembah Gunung Pegat. "Bukan kami yang memberantas kemungkaran Kanjeng Wotwesi, tapi hukum alam. Orang yang melanggar hukum alam akhirnya pasti akan dikalahkan!"
"Hidup Pendekar Pedang Akhirat!"
Sambil menengadah ke langit berbintang, seakan-akan mencoba mereguk sinar bulan dan seluruh udara yang ada di langit, Pendekar Pedang Akhirat berkata lirih, "Percayalah, siapa mengasihi yang di bumi, niscaya yang di langit akan mengasihi!"
Di bawah sejuta bintang kecil, sisa-sisa perkumpulan Intijiwo akan mengenang malam itu sebagai malam terkelam. Tentang kehilangan kerabat tercinta, sahabat terkasih, dan teman-teman seperjuangan.
Malam telah sempurna. Bertentangan sekali dengan malam sebelumnya, bulan bersinar terang, menyingkirkan kegelapan. Titik-titik keringat muncul di atas rambut dan menyatu menjadi alur-alur keringat yang mengalir menuruni hidung. Setelah cukup beristirahat dan mengobati beberapa luka, rombongan Benteng Nusa bangkit pelan-pelan dan meninggalkan tempat itu dengan langkah-langkah panjang penuh rasa syukur. Bagi mereka, peristiwa-peristiwa malam itu sudah harus dilupakan, yang penting adalah hari esok.
"Awas hati-hati jalannya, Ayah!" celetuk Zulaikah.
"Hei, jangan berani-berani kamu ngajari ayah! Jalan ini bisa ayah lalui dengan mata tertutup. Ika sendiri yang mesti hati-hati!" sahut Arum.
Zulaika mengedip pada Alya dan mulai mengingat sesuatu. Pandangan kecewa tergambar pada wajahnya ketika ia berseru, "Oh, aku kehilangan barangku!"
"Ha? Kehilangan apa?" tanya Arum.