Kini, di bawah sinar penerangan bulan, orang-orang baru dapat melihat wajah aslinya. Semua dibuat terkejut karena Iblis Muka Gedek itu ternyata seorang perempuan. Dia adalah Kencanawati. Wajahnya memang mengerikan. Rambutnya yang panjang sepinggul terurai acak-acakan. Pojok atas tengkoraknya hancur, sebelah matanya lepas dari ceruknya.
Lintang bergerak cepat. Dua-tiga pukulan hebat disarangkan lagi ke tubuh iblis itu, dan tulang-tulang rusuk yang patah pun mencuat menembus kulit. Iblis itu masih bertahan.
Lintang mengangkat tangan, menghapus banjir keringat yang turun dari keningnya, sebelum akhirnya pedang akhiratnya menebas leher hingga kepala iblis itu jatuh menggelinding ke tanah.
Sejarah yang terjadi di Lembah Gunung Pegat itu sekaligus mengingatkan manusia betapa hal yang tak terduga bisa saja terjadi. Terlebih ketika orang sudah merasa di atas angin. Peristiwa itu telah mengajarkan bahwa sikap menganggap remeh bisa membawa petaka, dan Lintang mengajarkan bahwa satu tekad yang kuat dapat mengalahkan sesuatu yang tidak mungkin.
Suara Cak Lahar kini ganti jadi sedikit bernada petuah. Ia berdiri di sekeliling musuhnya yang terkapar tak berdaya. "Sayang sekali! Biarpun kalian dilahirkan sebagai manusia, tapi kalian lebih mirip binatang. Sungguh menyedihkan kalian mesti menemui ajal di sini, tanpa pernah menjadi manusia yang sebenarnya! Sungguh hidup yang sia-sia!"
"Kalian rupanya salah mengerti," kata Ki Renggo kepada sisa-sisa musuhnya yang bergelimpangan, "Kalian pikir berani saja akan membuat kalian bisa jadi pendekar hebat. Tidak begitu! Kalian juga merasa yakin bahwa kesetiaan kepada pimpinan kalian itu pasti benar. Itu salah besar!"
Tentu saja mereka menangis dan selain karena merasa bersalah juga merasa sangat kesakitan.
Ki Renggo tidak menyesal, karena sadar apabila orang-orang itu yang menang, ia sendiri akan tergeletak di sana, tanpa nyawa dan bermandikan darah. "Sekarang, lihat bagaimana keadaan kalian? Hadapilah maut dengan berani, dan matilah dengan tenang!"
Sebelum Arum memberikan perintah kepada murid-muridnya agar mereka pergi ke semua arah untuk menemukan Zulaikah dan Alya, tiba-tiba kedua gadis itu muncul, seolah-olah sedang jalan-jalan menikmati udara malam.
Zulaikah turun dari gendongan dan berlari kecil ke arah ayahnya dan bertanya, "Ayah kok lama sekali datangnya?"
Lintang mengangkat tubuh Zulaikah dan mengalihkan perhatian putri kecilnya itu ke arah bulan di atas, dan berjalan cepat melewati tubuh-tubuh yang telah menjadi mayat. "Bulan yang indah! Lihat!"