'Apakah ada orang yang melemparkannya?' konsentrasinya sedikit terganggu. Ia tergoda untuk melihat ke arah suara yang berasal dari sungai tadi, tapi tidak ia lakukan. Pikirannya kembali fokus ke ibadah.
Kembali sesuatu membuyarkan konsentrasinya. Suara semak belukar yang tersibak dengan cepat. Seperti ada seekor binatang berlari. Bisa jadi celeng hutan. Namun kemudian disusul suara sesuatu terjun ke suangai. Tidak mungkin celeng terjun ke air.
Ia tanpa sadar secepat kilat memalingkan wajah, mencari sumber suara. Tapi ternyata air sungai masih tetap tenang. Tidak ada bekas benda besar jatuh. Ia kembali fokus ke shalatnya.
Tidak lama kemudian, seperti ada sesuatu yang bergerak di antara dedaunan kering. 'Mungkin binatang melata yang lewat', pikirnya masih tenang. 'Ularkah? Kadalkah? Terserahlah!'
Tapi kemudian ia merasa ada ranting kecil yang digerakan untuk menggaruk-garuk bagian belakang kakinya. Diulang berkali-kali. 'Kalau ini pasti orang yang melakukannya!'
Dengan mata masih terpejam, perlahan-lahan kejengkelannya memuncak. Itu tidak bisa diabaikan lagi. Sekali lagi dilakukan, maka ia memutuskan membatalkan sujudnya. Benar juga, orang jahil itu kembali menggelitik kakinya. Sudah sangat keterlaluan jika dibiarkan. Sialan benar!
Saat membuka mata, berpaling, dan siap menghardik, "Hei kamu setan..!" Akan tetapi, ia hanya melihat tempat kosong. Tak ada satu pun makhluk yang tampak.
Ranting kecil yang jatuh tepat di belakang kakinya itu ternyata digoyang-goyangkan oleh angin. Pada saat itu ia langsung merasa disergap oleh kesadaran, dan memahami bahwa letak kekhusukan sebetulnya berasal dari dalam dirinya sendiri. Tidak tergantung tempat, dan apa pun yang terjadi diluar dirinya itu hanya bahan ujian, yang sama halnya seperti ranting kecil. Ranting kecil yang terayun oleh angin.
Sejak itu, setiap kali dia mendapat gangguan atau sesuatu yang memancing emosinya, dia segera sadar bahwa itu hanyalah ranting kering. Ranting kecil. Persepsilah yang kemudian membesar-besarkannya.
Pesan moral yang disampaikan melalui cerita pengalaman pribadi Mbah Kadir itu langsung menyerap dalam benak setiap orang yang mendengarnya. Itulah salah satu keistimewaan Mbah Kadir.
Dua orang murid Intijiwo yang sedang memantau keadaan di sekitar tempat itu pun dibuat kagum. Mereka berdua diam-diam sepakat bahwa Mbah Kadir itu orang yang lebih bijaksana dibanding Kanjeng Wotwesi. Jauh lebih bijak.