Moko dan Giman beberapa kali meneriakinya sebagai pengkhianat, itu berarti penyusupannya memang sudah terbongkar. Yang jelas, dengan terbunuhnya kedua orang itu, ia yakin Intijiwo pasti akan mati-matian memburunya.
Ia tahu betul pola pikir orang-orang Intijiwo, yang jika punya musuh tidak akan pernah mundur sejengkal pun. Kematian mereka anggap lebih baik ketimbang kegagalan. Moko merupakan bukti nyata.
Ki Renggo mencari informasi di mana bisa membeli kuda. Dengan uang emas pemberian Ki Dewan, ia bisa membeli kuda yang cukup bagus. Ia harus mempercepat perjalanan untuk menemui Pendekar Pedang Akhirat, demi agar bisa menyampaikan informasi yang sangat penting.
Apabila murid-murid Intijiwo lebih dulu menangkap dan membunuhnya sebelum ia sempat membongkar kejahatan mereka, maka upayanya selama ini akan menjadi sia-sia.
Masih ada sisa uang untuk membeli pedang. Setidaknya dengan bersenjata ia akan lebih percaya diri jika seandainya nanti menghadapi pengeroyokan.
Ia juga mengubah penampilannya. Ditambah topi lebar terbuat dari anyaman bambu dan pedang di punggung, ia kini lebih mirip seorang pendekar yang sedang berkelana. Dilengkapi dengan niat tidak akan berhenti istirahat di sembarang tempat, ia yakin bakal selamat.
Ia sudah memasuki kota bersamaan matahari benar-benar tenggelam. Ia merasa lega. Setidaknya hari itu ia telah berhasil lolos dari pengejaran murid-murid Intijiwo.
Ia semula berniat mencari penginapan, tapi ternyata keberuntungan masih berpihak kepadanya. Ia bertemu Cak Lahar yang baru pulang dari langgar, dan kemudian bertanya kepada pemuda itu tentang tempat tinggal Pendekar Pedang Akhirat.
"Kebetulan sekali, beliau adalah guru saya! Oh iya, perkenalakan, nama saya Joko Lahar!"
"Saya Renggo, dari lereng Argopuro!" jawab Ki Renggo dengan muka berseri-seri. Rasanya semua jeri payahnya terbayar lunas saat itu juga. "Saya ingin bertemu dengan guru anda!"
"Mari saya antar Ki Renggo menemui Guru Kicak!" ajak Cak Lahar dengan sikap ramah.