Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (118): Ranting Kering

23 Desember 2024   03:34 Diperbarui: 23 Desember 2024   03:34 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

"Orang yang kita perintahkan untuk membuntuti Ki Renggo kemarin," lapor ketua tingkat tujuh kepada Ki Dewan, "Mereka ditemukan tewas di sebuah dusun perbatasan Jombang!"

"Yang aku ingin tahu, bagaimana mungkin murid pilihan dari tingkat tujuh bisa dikalahkan oleh seorang tukang kebun dan murid tingkat satu pula?"

"Tidak mungkin Ki Renggo mampu melakukannya sendirian, dia pasti mendapat bantuan dari seorang pendekar atau sekelompok pendekar, Ki!"

"Pengkhianat itu harus secepatnya ditangkap!" perintah Ki Dewan tegas, "Jangan sampai berita ini menyebar luas di masyarakat! Ini sangat memalukan kita! Apa perlu saya sendiri yang akan turun tangan?"

"Tidak perlu. Percayakan kepada kami untuk mengatasi ini!"

"Baik! Jangan sampai reputasi kanjeng yang selama ini kita jaga mati-matian dihancurkan sedemikian rupa oleh tukang kebun pengkhianat itu! Kamu harus tetap hati-hati. Jombang memang kota kecil, tapi kota itu turut menyumbang banyak pendekar-pendekar terbaik di Nusantara!"

Ki Dewan tiba-tiba teringat dengan Ki Wiryo, mantan demang di Jombang yang kini hidupnya mengenaskan gara-gara Lintang Si Pendekar Pedang Akhirat. Ia berharap Ki Renggo minta perlindungan kepada pendekar itu, sehingga itu akan menjadi alasan terbaik bagi Intijiwo untuk bisa menggempur musuh besarnya itu.

Ia akan menghasut Kanjeng Wotwesi agar menyerbu padepokan Benteng Nusa. Ia sangat yakin kesaktian Kanjeng Wotwesi dan Iblis Muka Gedek mampu menandingi Lintang.

Hari itu juga, Intijiwo secara rahasia mengerahkan puluhan muridnya untuk memburu Ki Renggo, hidup atau mati. Mereka menyusuri setiap desa yang diduga dilewati oleh pengkhianat yang telah membunuh dua saudara seperguruan mereka itu.

"Seandainya kalian tidak bisa menemukan Ki Renggo, carilah dia di Padepokan Benteng Nusa!" pesan Ki Dewan.

"Kenapa begitu, Ki?"

"Sudah, lakukan saja! Naluriku mengatakan dia akan minta perlindungan ke sana!"

"Baik, Ki!"

"Seandainya kalian menemukannya di padepokan itu, dan mereka menolak menyerahkan, sampaikan bahwa kami bersedia menukarnya dengan Kitab Pusaka Sakti Mandraguna yang ada pada kami!" Ki Dewan akan menukarnya dengan kitab salinan yang ia miliki. Ia tersenyum mengagumi kecerdikan dirinya sendiri.

***

Kencana tidak sengaja mendengar Eyang Kanjeng berbicara dengan Klebat di ruang tengah.

"Eyang, kira-kira berapa lama Kencana bisa kembali pulih seperti sediakala?"

"Hm..! Pulangkan saja istrimu yang tidak berguna itu. Menikahlah lagi dengan siapa pun yang kamu inginkan!"

"Tapi saya kasihan sama dia, Eyang!"

"Sifat belas kasih itu yang menjadikan mental kita lemah! Kita tidak boleh lemah hanya gara-gara Wanita!"

Kencana duduk di tepi ranjang dan hatinya pedih mendengar percakapan itu. Dia masih terus berpikir mencari cara untuk melampiaskan dendam. Hanya dengan menyingkirkan Eyang Kanjeng, ia akan bisa menguasai Klebat, dan selanjutnya menguasai harta kekayaannya.

"Aku tidak akan menceraikannya!" pungkas Klebat sebelum bangkit dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan ruang tengah.

Kencana mendengar suara kaki berjalan memasuki kamar. Itu pasti suaminya. Ia tetap menyisir rambut dan pura-pura tidak menyadari kehadirannya.

"Kencana!" panggil Klebat dari arah belakang. "Kencana!"

"Ah.., kamu membuatku kaget saja!" Kencana berpaling dan berhenti menyisir rambut, "Iya, ada apa?"

"Hm.., kamu dengar pembicaraanku dengan eyang?"

"Tidak!" jawab Kencana datar, sambil melanjutkan menyisir rambutnya yang panjang dan hitam. "Memang bicara apa?"

"Tidak.., tidak apa-apa!"

"Kangmas, aku boleh tanya?"

"Iya?"

"Aku heran kenapa kamu selalu bawa tongkat bambu jelek itu ke mana-mana?" Kencana bukannya tidak tahu bahwa itu adalah tongkat pusaka yang membuat suaminya memiliki kekuatan luar biasa.

"Jangan kamu sebut tongkat jelek. Tongkat ini sangat penting bagiku!"

"Berarti aku tidak penting bagimu!" Kencana menunjukan muka cemberut.

"Bukan begitu. Tapi tongkat ini yang selama ini melindungiku dari ancaman bahaya, dan membuatku memeiliki kesaktian!"

"Ha..? Tongkat jelek itu? Kok bisa?" tanya Kencana pura-pura takjub. Ia meletakan sisir, duduk menghadap suaminya dan memohon, "Tolong ceritakan bagaimana kamu bisa mendapatkan tongkat itu? Ayolah!"

"Sekali lagi jangan sebut jelek ya!" Selama ini Klebat enggan bicara soal tongkat pusaka itu dengan siapa pun, bahkan dengan kakeknya sekalipun. "Ini rahasia!"

"Ya.., masak sebagai istri aku gak boleh tahu!"

"Kenapa kamu ingin tahu?"

 "Ya sudah kalau gak mau!" Kencana berpaling dan melanjutkan menyisir rambutnya.

Klebat menyerah. Maka ia mulai menceritakan bagaimana awal mula memperoleh tongkat pusaka itu hingga dirinya mendapatkan kesaktian.

"Aku boleh pegang tongkat pusaka itu? Cuma pingin nyentuh saja! Penasaran!"

"Ini! Tapi kamu tidak akan kuat jika tidak membaca mantra terlebih dahulu!" Klebat mengeluarkan tongkat bambunya dari balik baju, mengajarkan mantra, dan baru memberikannya kepada istrinya.

"Hm..!" Kencana mengamati dan diam-diam mengingat setiap detilnya. Ia rupanya sedang menemukan sebuah ide. "Bentuknya unik!"

"He.., ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa berada di desa terpencil?"

"Maksud Kangmas?"

"Waktu pulang menjenguk ayahmu, apa saja kegiatanmu di sana, sampai bisa berada jauh dari kotamu?"

Kencana menatap langit-langit kamar dan berlagak mengingat sesuatu. Ia kemudian memijit keningnya sambil meringis seolah-olah menahan nyeri. "Hm.., aku tidak ingat! Saat aku sadar, aku tiba-tiba berada di sini!"

"Menurut eyang, ada laki-laki yang mengguna-gunai kamu! Lalu kamu dibuat kesurupan!"

"Maksud Kangmas?"

"Ada orang jahat yang sengaja ingin kamu jadi gila!"

"Benarkah? Kenapa di dunia ini ada orang sejahat itu?"

***

Ki Renggo awalnya sama sekali tidak mengerti kenapa ada anggota Intijiwo yang membuntuti dan kemudian berusaha membunuhnya. Ia sangat yakin selama melakukan penyusupan di Lembah Gunung Pegat tidak pernah sekalipun melakukan perbuatan yang bisa membuat orang lantas mencurigainya. Ia bertanya-tanya keheranan dalam hati.

Moko dan Giman beberapa kali meneriakinya sebagai pengkhianat, itu berarti penyusupannya memang sudah terbongkar. Yang jelas, dengan terbunuhnya kedua orang itu, ia yakin Intijiwo pasti akan mati-matian memburunya.

Ia tahu betul pola pikir orang-orang Intijiwo, yang jika punya musuh tidak akan pernah mundur sejengkal pun. Kematian mereka anggap lebih baik ketimbang kegagalan. Moko merupakan bukti nyata.

Ki Renggo mencari informasi di mana bisa membeli kuda. Dengan uang emas pemberian Ki Dewan, ia bisa membeli kuda yang cukup bagus. Ia harus mempercepat perjalanan untuk menemui Pendekar Pedang Akhirat, demi agar bisa menyampaikan informasi yang sangat penting.

Apabila murid-murid Intijiwo lebih dulu menangkap dan membunuhnya sebelum ia sempat membongkar kejahatan mereka, maka upayanya selama ini akan menjadi sia-sia.

Masih ada sisa uang untuk membeli pedang. Setidaknya dengan bersenjata ia akan lebih percaya diri jika seandainya nanti menghadapi pengeroyokan.

Ia juga mengubah penampilannya. Ditambah topi lebar terbuat dari anyaman bambu dan pedang di punggung, ia kini lebih mirip seorang pendekar yang sedang berkelana. Dilengkapi dengan niat tidak akan berhenti istirahat di sembarang tempat, ia yakin bakal selamat.

Ia sudah memasuki kota bersamaan matahari benar-benar tenggelam. Ia merasa lega. Setidaknya hari itu ia telah berhasil lolos dari pengejaran murid-murid Intijiwo.

Ia semula berniat mencari penginapan, tapi ternyata keberuntungan masih berpihak kepadanya. Ia bertemu Cak Lahar yang baru pulang dari langgar, dan kemudian bertanya kepada pemuda itu tentang tempat tinggal Pendekar Pedang Akhirat.

"Kebetulan sekali, beliau adalah guru saya! Oh iya, perkenalakan, nama saya Joko Lahar!"

"Saya Renggo, dari lereng Argopuro!" jawab Ki Renggo dengan muka berseri-seri. Rasanya semua jeri payahnya terbayar lunas saat itu juga. "Saya ingin bertemu dengan guru anda!"

"Mari saya antar Ki Renggo menemui Guru Kicak!" ajak Cak Lahar dengan sikap ramah.

Ki Renggo berjalan menuntun kuda mengikuti Cak Lahar, melewati gapura yang di atasnya bertuliskan 'Padepokan Benteng Nusa'.

"Oh, saya sering dengar nama besar padepokan ini!" Ki Renggo tidak mengira akan begitu mudahnya untuk bertemu seseorang yang menyandang nama besar. Padepokan itu terkesan sangat bersahabat. Tidak ada petugas yang berjaga-jaga di pintu masuk seperti di Padepokan Intijiwo, yang berlpis, dan memeriksa setiap tamu dengan ketat dan penuh kecurigaan.

Cak Lahar membawa Ki Renggo ke sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk menerima tamu. Seseorang langsung membawakan hidangan yang berupa makanan ringan dan minuman.

"Silakan dinikmati, Ki. Tunggu sebentar, saya akan memberitahu guru!" kata Cak Lahar.

Ki Renggo dibuat terkesan dengan penerimaan dan pelayanan itu, sampai ia bertanya dalam hati, 'Benarkah ini padepokan milik seorang pendekar besar?'

***

Siang yang berangin sejuk. Di sebuah warung di tengah persawahaan yang luas, di bawah rumpun bambu yang teduh dan berangin sejuk. Sebuah warung sederhana yang diminati para pedamba ilmu, hanya menyajikan kopi, ketan, kolak dan aneka camilan.

Pagi itu, semua pelanggan sedang menyimak cerita pengalaman Mbah Kadir, yang suatu ketika mencari tempat sunyi agar bisa shalat dengan khusuk.

"Aku saat itu memang masih belajar!" urai Mbah Kadir mengawali ceritanya, "Meskipun saat ini pun sebetulnya juga masih belajar!"

Ia memutuskan untuk pergi seorang diri, berjalan masuk ke dalam hutan yang berada di dataran tinggi dan jauh dari perkampungan. Masyarakat menyebut wilayah itu Dung Cinet, sebuah tempat yang lumayan eksotis dan terkena sangat angker. Matahari mulai tenggelam tepat saat ia menemukan sebuah lokasi yang datar di tepi sungai. Setelah memastikan bahwa tempat itu benar-benar sunyi, ia pun mulai mengambil wudhu dan segera menjalankan shalat.

Beberapa saat berlalu dengan hening tanpa ada gangguan sama sekali. Hanya gemerisik dedaunan yang terhembus desir angin. Tiba-tiba ia dikagetkan oleh suara benda jatuh ke dalam air. Mungkin batu yang ukurannya besar, karena menimbulkan suara kecipak cukup keras.

'Apakah ada orang yang melemparkannya?' konsentrasinya sedikit terganggu. Ia tergoda untuk melihat ke arah suara yang berasal dari sungai tadi, tapi tidak ia lakukan. Pikirannya kembali fokus ke ibadah.

Kembali sesuatu membuyarkan konsentrasinya. Suara semak belukar yang tersibak dengan cepat. Seperti ada seekor binatang berlari. Bisa jadi celeng hutan. Namun kemudian disusul suara sesuatu terjun ke suangai. Tidak mungkin celeng terjun ke air.

Ia tanpa sadar secepat kilat memalingkan wajah, mencari sumber suara. Tapi ternyata air sungai masih tetap tenang. Tidak ada bekas benda besar jatuh. Ia kembali fokus ke shalatnya.

Tidak lama kemudian, seperti ada sesuatu yang bergerak di antara dedaunan kering. 'Mungkin binatang melata yang lewat', pikirnya masih tenang. 'Ularkah? Kadalkah? Terserahlah!'

Tapi kemudian ia merasa ada ranting kecil yang digerakan untuk menggaruk-garuk bagian belakang kakinya. Diulang berkali-kali. 'Kalau ini pasti orang yang melakukannya!'

Dengan mata masih terpejam, perlahan-lahan kejengkelannya memuncak. Itu tidak bisa diabaikan lagi. Sekali lagi dilakukan, maka ia memutuskan membatalkan sujudnya. Benar juga, orang jahil itu kembali menggelitik kakinya. Sudah sangat keterlaluan jika dibiarkan. Sialan benar!

Saat membuka mata, berpaling, dan siap menghardik, "Hei kamu setan..!" Akan tetapi, ia hanya melihat tempat kosong. Tak ada satu pun makhluk yang tampak.

Ranting kecil yang jatuh tepat di belakang kakinya itu ternyata digoyang-goyangkan oleh angin. Pada saat itu ia langsung merasa disergap oleh kesadaran, dan memahami bahwa letak kekhusukan sebetulnya berasal dari dalam dirinya sendiri. Tidak tergantung tempat, dan apa pun yang terjadi diluar dirinya itu hanya bahan ujian, yang sama halnya seperti ranting kecil. Ranting kecil yang terayun oleh angin.

Sejak itu, setiap kali dia mendapat gangguan atau sesuatu yang memancing emosinya, dia segera sadar bahwa itu hanyalah ranting kering. Ranting kecil. Persepsilah yang kemudian membesar-besarkannya.

Pesan moral yang disampaikan melalui cerita pengalaman pribadi Mbah Kadir itu langsung menyerap dalam benak setiap orang yang mendengarnya. Itulah salah satu keistimewaan Mbah Kadir.

Dua orang murid Intijiwo yang sedang memantau keadaan di sekitar tempat itu pun dibuat kagum. Mereka berdua diam-diam sepakat bahwa Mbah Kadir itu orang yang lebih bijaksana dibanding Kanjeng Wotwesi. Jauh lebih bijak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun